Banyak orang masih bertanya, kenapa nama Yesus dan Isa terdengar begitu jauh?
Saya pun dulu pernah berpikir begitu. Dua nama yang katanya menunjuk pada sosok yang sama, tapi terasa asing satu sama lain. Sampai akhirnya saya sadar — mungkin Tuhan memang sengaja membiarkan lidah manusia beragam, supaya kita belajar mendengar sebelum menghakimi.
Kata “Yesus” yang kita kenal hari ini bukanlah nama yang diucapkan oleh orang-orang sezamannya. Di tanah Yudea, mereka memanggilnya Yeshua atau Eashoa, dalam bahasa Aram — bahasa yang juga dituturkan oleh Nabi-Nabi sebelumnya.
Tapi begitu nama itu menyeberangi dunia, lidah Yunani mengubahnya menjadi Iesous, lidah Latin menjadikannya Jesus, dan kita mewarisinya sebagai Yesus.
Sementara umat Islam menyebutnya Isa, bentuk khas dari akar bahasa Arab.
Bukan salah, bukan beda Tuhan. Hanya beda lidah.
Menyebut Nama dalam Cermin Sejarah
Dalam Injil Matius, Yesus pernah berkata:
“Aku datang bukan untuk meniadakan hukum Taurat, melainkan untuk menggenapinya.”
Kalimat yang sederhana, tapi berat.
Ia bukan sedang memperkenalkan agama baru, tapi melanjutkan risalah sebelumnya.
Dan di titik inilah, saya merasa Isa dan Yesus berdiri di jalan yang sama, hanya dipanggil oleh umat yang berbeda.
Gw sering mikir, kalau Yesus datang lagi hari ini dan melihat namanya diucapkan dalam begitu banyak versi, mungkin dia bakal senyum tipis. Mungkin dia nggak akan peduli namanya Yesus, Isa, atau Yeshua — karena yang penting bukan sebutannya, tapi ajarannya.
Dan mungkin dia bakal bilang, “Kalian terlalu sibuk memperdebatkan namaku, tapi lupa memperjuangkan kasih yang aku bawa.”
Bahasa Iman dan Lidah Manusia
Kalau kita mau jujur, manusia memang hobi memberi label pada yang suci.
Yesus jadi “Kristus”, Isa jadi “Nabi”, dan agama jadi semacam bendera yang dikibarkan lebih tinggi dari kemanusiaan itu sendiri.
Padahal, siapa pun yang membaca sejarah tahu: nama Kristen bukan berasal dari Yesus, tapi dari pengikutnya di Antiokhia. Paulus dan Barnabas yang pertama kali memakainya. Sebelum itu, mereka hanyalah pengikut jalan kasih — The Way.
Saya suka berpikir: kalau iman itu air, maka setiap agama hanyalah wadah.
Dan wadah, seindah apa pun bentuknya, tidak pernah lebih penting dari air yang dikandungnya.
Di Antara Yesus dan Isa
Perdebatan tentang Yesus dan Isa sering kali lebih gaduh daripada bermakna.
Masing-masing merasa punya versi paling sah, paling benar, paling dekat dengan Tuhan. Tapi kalau kita duduk tenang, buka kitab — baik Injil maupun Al-Qur’an — kita akan menemukan gema yang sama: kasih, pengampunan, dan ketaatan pada Tuhan.
Hanya saja, setiap kitab memilih bahasa sendiri untuk mengisahkannya.
Gw nggak tahu apakah dunia ini akan tenang kalau semua orang sepakat memanggil-Nya dengan satu nama. Mungkin malah sebaliknya — dunia ini jadi sunyi tanpa perbedaan.
Karena dari perbedaan itu kita belajar rendah hati, bahwa kebenaran bukan milik satu lidah.
Kadang saya merasa, perbedaan nama hanyalah cara Tuhan menguji bagaimana manusia memperlakukan yang tak sama.
Apakah kita akan saling mendengarkan, atau saling meniadakan.
Dan mungkin, di tengah perdebatan yang tak pernah selesai itu, Yesus dan Isa hanya saling menatap — lalu tersenyum.

Leave a Reply