Anjing Mekah, Iman dan Bau Kemanusiaan

Anjing dipelataran Masjidil Haram Mekkah
Anjing dipelataran Masjidil Haram, Mekah

Anjing Mekah bukan sekadar pemandangan yang tak biasa—ia adalah renungan yang datang diam-diam di tengah keramaian ibadah. Malam itu, selepas Isya’, saya melihat dua ekor anjing di sekitar Ajyad, hanya beberapa langkah dari Masjidil Haram. Di tempat suci yang menjadi poros dunia Islam, mereka duduk diam di bawah cahaya lampu jalan, tidak takut, tidak menggonggong, tidak mengganggu siapa pun.

Mereka bukan anjing liar; tubuhnya bersih dan sikapnya tenang. Ribuan jamaah melintas tanpa peduli, tapi saya terpaku. Rasanya seperti menyaksikan sesuatu yang melampaui tafsir biasa tentang suci dan najis. Mungkin memang begitu cara Tuhan menunjukkan kasihnya—bahwa bahkan di tanah yang disebut paling murni, makhluk lain tetap mendapat tempat untuk hidup.

Ketakutan yang Diajar, Bukan Dirasakan

Bagi sebagian masyarakat Indonesia, kata anjing sudah kehilangan makna asalnya sebagai makhluk ciptaan Tuhan. Ia berubah menjadi kata umpatan, penghinaan, bahkan alat kemarahan. “Anjing lu!” terdengar lebih menakutkan daripada makian yang sebenarnya lebih manusiawi. Coba ganti dengan “kucing lu”—maknanya hilang, malah terdengar manja.

Saya sering melihat ibu-ibu dan anak-anak yang menjerit ketika seekor anjing melintas. Ada yang melempari batu, ada yang menyingkir ketakutan. Padahal, rasa takut itu bukan naluri alami; ia diajarkan dari ketidaktahuan. Sama seperti prasangka—lahir dari cerita yang diwariskan, bukan dari pengalaman langsung.

Ketika anjing Mekah bisa duduk tenang di tengah jamaah tanpa menimbulkan kepanikan, kita justru diingatkan bahwa kebersihan hati lebih penting daripada sekadar ketakutan yang diajarkan.

Anjing Mekkah dimana Najis Bukan Alasan untuk Membenci

Sering kali kita salah mengartikan kata najis seolah berarti “terlarang”. Padahal, dalam konteks ajaran Islam, najis hanyalah sesuatu yang perlu dibersihkan agar ibadah tetap sah. Air liur anjing memang najis, tapi najis bukan dosa. Ia tidak menghapus kasih.

Riwayat tentang wadah air yang dijilat anjing dan harus dicuci tujuh kali bukan berarti angka tujuh itu magis, melainkan simbol kesungguhan membersihkan. Di masa Nabi belum ada sabun atau antiseptik, maka tanah digunakan. Kini, mencucinya sekali dengan sabun sudah memenuhi esensinya: bersih.

Ilmu pengetahuan modern pun menegaskan bahwa setiap makhluk—termasuk manusia—memiliki bakteri khas di air liurnya. Jadi, anjing bukan ancaman spiritual, hanya makhluk dengan biologi yang berbeda. Yang berbahaya justru kebencian yang tidak dicuci dari hati.

Pelajaran dari Seekor Anjing

Islam tidak menutup diri terhadap anjing. Dalam hadis riwayat ‘Adi bin Hatim, Rasulullah membolehkan hasil buruan anjing terlatih dimakan tanpa penyembelihan, selama dilepas dengan menyebut nama Allah. Bahkan dalam kisah Ashabul Kahfi, seekor anjing dijamin bersama para pemuda beriman, duduk menjaga di depan gua.

Maka jelas, pemahaman terhadap anjing butuh disesuaikan dengan konteksnya. Kalau ada yang berkata malaikat tak mau masuk rumah yang ada anjingnya, mungkin maksudnya adalah ajakan menjaga kebersihan, bukan kebencian. Dan kalau benar, malaikat maut pun enggan masuk, mungkin kau akan hidup selamanya—setidaknya sampai anjingmu bosan padamu.

Anjing Mekah mengingatkan saya bahwa suci dan najis bukan dua dunia yang saling meniadakan. Tuhan tidak marah, anjing senang, dan tanah suci tetap baik-baik saja. Yang sering tidak baik-baik saja justru manusia yang lupa, bahwa kasih juga bisa berwujud seekor anjing yang duduk diam di bawah cahaya lampu Mekah.

Rully Syumanda
Arsitek, Penggiat Lingkungan dan Ayah dari tiga orang putri. Tidak terlalu relijius namun selalu berusaha berbuat baik dan percaya bahwa gagasan besar sering lahir dari percakapan kecil. Melalui laman ini, saya ingin berbagi cara pandang — bukan untuk menggurui, tapi untuk membuka ruang dialog. Tentang iman yang membumi, demokrasi yang manusiawi, dan kemakmuran yang tidak meninggalkan siapa pun.
Exit mobile version