Dinihari di Lebanon, sebagian besar warga Palestina masih terlelap ketika pasukan Israel, yang digerakkan oleh ideologi Zionisme, bergerak maju. Mereka menghancurkan apa pun yang terlihat di depan mata. Kamp pengungsi yang menampung orang-orang terusir dari tanah mereka mendadak menjadi neraka.
Ribuan orang terbunuh, rumah-rumah rata dengan tanah. Selama dua hari, pemboman tak berhenti. Mayat berserakan di jalanan Beirut, sementara dunia baru sadar bahwa kemanusiaan bisa hilang di bawah jargon keamanan dan janji kedamaian.
Tragedi ini memantik amarah global, termasuk dari kalangan Yahudi sendiri. Profesor Benjamin Cohen dari Tel Aviv University menulis dengan getir: “Bangsa Yahudi, mereka sendiri pernah menjadi korban kekejaman—bagaimana bisa mereka melakukan kekejaman yang sama?”
Pernyataan ini bukan sekadar kritik terhadap perang, tapi terhadap Zionisme: ideologi yang telah menukar nilai-nilai iman menjadi mesin kekuasaan. Sebuah ide yang, atas nama sejarah, mengulang luka kemanusiaan.
Asal Muasal Zionisme dan Kebangkitan Rasisme
Setelah terusir dari Yerusalem pada tahun 70 Masehi, masyarakat Yahudi hidup tersebar di berbagai wilayah dunia. Selama berabad-abad, mereka bertahan sebagai komunitas religius, bukan ras. Mereka berbicara dalam bahasa setempat—Jerman, Inggris, Arab—dan berbaur dengan masyarakat di mana mereka tinggal.
Namun abad ke-19 melahirkan sesuatu yang baru: Eropa mulai menggandrungi gagasan rasisme ilmiah. Dari situ, benih Zionisme tumbuh—bukan dari iman, tapi dari ketakutan dan ambisi.
Theodor Herzl, bapak Zionism modern, awalnya tak bicara tentang “tanah suci.” Ia hanya mencari tempat bagi orang Yahudi untuk mendirikan negara—bahkan sempat mengusulkan Uganda. Palestina dipilih kemudian, bukan karena nilai spiritualnya, tapi karena simbolisme sejarah yang bisa dijual.
Kolonialisme dan nasionalisme Eropa saat itu memberi ilham bagi gerakan ini: menjajah atas nama peradaban, menaklukkan atas nama keselamatan.
Zionisme menolak gagasan bahwa manusia bisa hidup berdampingan. Ia mempropagandakan ide bahwa Yahudi harus terpisah dari bangsa lain, harus punya tanah sendiri, bahkan jika tanah itu milik orang lain.
Sejak saat itu, narasi berubah: bukan lagi tentang doa dan kitab, tapi tentang klaim dan senjata. Agama dijadikan pembungkus bagi penjajahan modern.
Yahudi Bukan Zionis, Zionisme Bukan Yahudi
Banyak orang masih keliru menganggap kritik terhadap Zionisme sebagai kebencian terhadap Yahudi. Padahal, banyak tokoh Yahudi justru menentang ideologi ini. Rabbi Hirsch menyebut Zionisme sebagai “penyimpangan dari ajaran agama.”
Roger Garaudy menulis lebih tajam lagi: “Musuh terbesar agama Yahudi adalah cara berpikir nasionalis, rasis, dan kolonialis dari Zionisme.”
Inilah yang sering terlupakan: bahwa Zionisme adalah minoritas bising di dunia Yahudi. Ia lahir dari ketakutan Eropa dan berkembang dari mentalitas kolonial. Ia menjanjikan keamanan, tapi melahirkan ketidakadilan. Ia mengklaim tanah suci, tapi kehilangan kesucian hati.
Sebagian Yahudi tetap teguh pada iman mereka, menolak kekerasan, dan menyerukan perdamaian dunia sejati—perdamaian yang tak dibangun di atas pengusiran dan darah. Mereka tahu, jika Zionisme terus memimpin arah politik global Israel, maka dunia akan semakin jauh dari keadilan sosial dan kasih.
Ketika Ideologi Mengalahkan Kemanusiaan
Zionisme kini bukan sekadar ide tentang “tanah air Yahudi.” Ia telah menjadi mesin politik global yang didukung oleh kekuatan ekonomi dan militer.
Namun, semakin besar kekuasaan itu, semakin kecil ruang bagi nurani. Seperti kata Cohen, “keberhasilan terbesar Zionisme adalah de-Yahudi-isasi bangsa Yahudi”—menghapus nilai-nilai moral yang justru menjadi inti dari ajaran mereka sendiri.
Kita bisa menentang tanpa membenci Yahudi. Sebagaimana dunia menolak Nazi tanpa membenci orang Jerman.
Yang perlu kita lawan adalah ide yang menganggap satu bangsa lebih berhak atas penderitaan bangsa lain.
Yang harus kita lawan adalah logika yang membenarkan konflik Timur Tengah dan penjajahan atas nama keselamatan.
Karena sejatinya, penentangan terhadap Zionisme bukan tentang agama, tapi tentang iman dan nurani.
Dan selama ideologi itu masih menindas, selama nurani masih dibungkam oleh politik global, luka Palestina—dan luka dunia—tak akan pernah kering.
Penutup – Melawan dengan Nurani
Zionisme mungkin bisa menguasai wilayah, tapi tidak bisa menguasai hati manusia yang masih punya belas kasih.
Kita tidak sedang berhadapan dengan agama, tapi dengan ide yang memisahkan manusia dari kemanusiaan. Dan satu-satunya cara melawannya adalah dengan menjaga nurani tetap hidup.
Karena dunia tidak butuh lebih banyak tentara atau dewan keamanan. Dunia hanya butuh manusia yang berani berkata: cukup sudah.
Cukup darah, cukup kebencian, cukup Zionisme. Yang harus bertahan kini bukan kekuasaan — tapi kemanusiaan.

Leave a Reply