Salah Kaprah Palestina: Antara Iman, Sejarah, dan Politik Arab

Suasana pasar kuno di Timur Tengah tempat para pedagang dan pembeli berkumpul menggambarkan kehidupan damai lintas keyakinan di tanah suci sebelum konflik modern
Sebelum konflik dan perebutan tanah suci dimulai, Yerusalem pernah menjadi ruang bersama tempat manusia dari berbagai keyakinan bertemu dan berdagang dalam damai.

Salah Kaprah Palestina bukan cuma soal ketidaktahuan, tapi juga soal bagaimana sejarah disederhanakan demi kepentingan tertentu. Kita tumbuh dengan narasi tunggal bahwa Palestina adalah perjuangan suci umat Islam melawan Yahudi, padahal realitasnya jauh lebih rumit dari sekadar perang agama. Jika ditelusuri lebih dalam, akar konflik ini justru lebih banyak berbicara tentang sejarah migrasi bangsa, perebutan tanah, dan politik identitas yang bercampur dengan tafsir keagamaan.

Di Indonesia, pandangan ini sudah mengakar kuat. Setiap kali ada kabar dari Gaza, simpati langsung muncul—dan itu wajar, karena empati adalah bagian dari nurani. Tapi persoalannya, empati sering kali menutup ruang logika. Kita tak sempat bertanya: siapa yang sebenarnya berperang, untuk alasan apa, dan bagaimana sejarahnya hingga jadi serumit ini?

Antara Filistin dan Palestina

Sedikit orang tahu bahwa istilah Filistin bukan merujuk pada bangsa Arab modern, melainkan pada kelompok kuno dari wilayah Mediterania yang datang dari arah Yunani, jauh sebelum Islam lahir. Kata Filistine dalam bahasa Ibrani berarti “bangsa dari seberang laut.” Mereka adalah penyembah dewa, bukan penganut monoteisme.

Dari sinilah sejarah mulai berlapis. Konflik awal antara bangsa Filistin dan Daud bukanlah konflik agama, melainkan konflik teritorial. Ketika Daud menang dan mendirikan kerajaan Israel, simbol bintang enam yang dikenal sebagai “Bintang Daud” menjadi lambang peradaban baru. Ribuan tahun kemudian, wilayah itu terus berganti penguasa — dari Romawi, Bizantium, Arab, Ottoman, hingga Inggris. Maka, Salah Kaprah Palestina bermula ketika kita mengira Palestina hari ini adalah kelanjutan langsung dari bangsa Filistin di masa Daud, padahal keduanya terpisah oleh jarak sejarah ribuan tahun dan perbedaan etnis yang sangat jauh.

Palestina modern baru terbentuk setelah era kolonial, di mana mayoritas penduduknya adalah Arab Muslim dan Arab Kristen — bukan keturunan Filistin kuno. Pemimpin Palestina yang paling dikenal, Yasser Arafat, bahkan bukan kelahiran Palestina, melainkan Mesir.

Politik Arab dan Warisan Kekuasaan

Masalah ini makin ruwet ketika identitas keagamaan disatukan dengan semangat nasionalisme Arab. Setelah Nabi Muhammad wafat, ekspansi kekhalifahan meluas hingga ke Yerusalem. Di bawah pemerintahan Umar bin Khattab, umat Islam membangun Masjid Umar di tanah kosong dekat gereja, sebagai simbol toleransi. Namun Masjid Al-Aqsa sendiri baru dibangun puluhan tahun kemudian, sekitar tahun 705 Masehi, di atas reruntuhan situs suci bangsa Israel.

Fakta ini jarang dibicarakan, mungkin karena terlalu sensitif. Tapi di sinilah letak Salah Kaprah Palestina yang paling mendasar: bahwa Yerusalem sudah menjadi tanah suci bagi Yahudi dan Nasrani ribuan tahun sebelum Islam datang. Nabi Muhammad sendiri tak pernah memerintahkan umat Islam merebut kota itu. Dalam Al-Qur’an, tak ada satu ayat pun yang menyuruh untuk menguasai Yerusalem. Ketika beliau hidup, kiblat memang sempat mengarah ke Bait Suci, tapi akhirnya dipindahkan ke Mekkah — bukan untuk menghapus Yerusalem, melainkan untuk menghormati perbedaan dan menghindari perebutan simbol suci.

Namun setelah era Nabi, ambisi politik umat Islam mulai berubah. Yerusalem bukan lagi soal spiritual, tapi simbol kejayaan. Kekuasaan Arab ingin menegaskan supremasinya atas wilayah yang dianggap pusat sejarah agama-agama besar. Dari sinilah muncul benih konflik yang bertahan hingga sekarang — konflik yang bukan lagi murni soal iman, tapi tentang siapa yang paling berhak atas tanah yang disucikan bersama.

Salah Kaprah Palestina, Narasi yang Dibungkus Agama

Narasi ini kemudian dikemas ulang dalam bentuk perang ideologi: Arab versus Barat, Islam versus Yahudi, timur versus barat. Padahal, dalam sejarah panjangnya, banyak ulama dan pemikir Muslim yang justru mengakui bahwa agama tak pernah diperintahkan untuk merebut Yerusalem.

Yang membuatnya rumit adalah nasionalisme Arab yang memakai simbol Islam sebagai alat politik. Ketika kekuasaan menjadi tujuan, agama dijadikan pembungkus moral untuk legitimasi perang. Inilah yang sering membuat masyarakat Muslim di luar kawasan itu, termasuk Indonesia, mudah terseret dalam emosi kolektif tanpa memahami konteksnya.

Mungkin sudah saatnya kita bertanya dengan jujur: apakah kita membela Palestina karena nilai kemanusiaan, atau karena asumsi bahwa ini perang agama? Kalau alasan pertama, maka kita sedang berjuang untuk keadilan universal. Tapi kalau alasan kedua, kita justru sedang mengulang sejarah yang sama: membenarkan perang dengan nama Tuhan, padahal Tuhan sendiri tak pernah memerintahkannya.

Belajar Menjadi Bijak Meniadakan Salah Kaprah Palestina

Mengetahui sejarah tidak berarti menolak solidaritas. Kita tetap bisa peduli pada penderitaan warga Gaza tanpa harus membenci bangsa lain. Tapi peduli harus diiringi dengan pemahaman yang utuh. Karena kalau tidak, kita hanya akan menjadi penonton emosional yang digerakkan oleh propaganda.

Bagi saya, memahami Salah Kaprah Palestina justru membuat iman menjadi lebih jernih. Kita tidak lagi melihat konflik ini sebagai benturan agama, tapi sebagai tragedi kemanusiaan yang diperpanjang oleh kepentingan politik. Umat Islam Indonesia perlu belajar memisahkan antara keyakinan dan romantisme Timur Tengah. Nabi Muhammad tidak pernah merebut Yerusalem, maka mengapa kita harus mengusung bendera kebencian atas nama beliau?

Yerusalem sudah menjadi tanah suci bagi tiga agama besar sejak ribuan tahun lalu. Masing-masing punya hak untuk mengenang sejarah dan beribadah di sana. Mungkin dunia akan lebih damai jika kita berhenti mengira Tuhan berpihak pada bangsa tertentu, dan mulai percaya bahwa Tuhan berpihak pada mereka yang menjaga kehidupan.

Dan mungkin, di situlah sebetulnya letak perdamaian yang belum pernah kita temukan — ketika kita berhenti membela dengan amarah, dan mulai memahami dengan kasih.

Kalau Anda bertanya dimana posisi saya? Bagi saya, sebuah bangsa berjalan menemukan formasinya secara natural. Melalui proses evolusi. Pemaksanaan terhadap sebuah bangsa terhadap bangsa lain adalah bagian dari sebuah penjajahan. Salah kaprah palestina tidak kemudian dibaca final solusi dua negara di tanah Palestina. Bangsa Yahudi harus berasimilasi dan melebur kedalam nation Palestina.

Rully Syumanda
Arsitek, Penggiat Lingkungan dan Ayah dari tiga orang putri. Tidak terlalu relijius namun selalu berusaha berbuat baik dan percaya bahwa gagasan besar sering lahir dari percakapan kecil. Melalui laman ini, saya ingin berbagi cara pandang — bukan untuk menggurui, tapi untuk membuka ruang dialog. Tentang iman yang membumi, demokrasi yang manusiawi, dan kemakmuran yang tidak meninggalkan siapa pun.
Exit mobile version