Asal mula nama Indonesia menyimpan perjalanan panjang dari kata, rasa, dan makna. Sebelum istilah itu dikenal dunia, kepulauan yang kini kita tinggali sudah punya banyak nama. Bangsa Tionghoa menyebutnya Nan-hai — Kepulauan Laut Selatan. Bangsa India menulisnya sebagai Dwipantara, kepulauan tanah seberang. Dalam kisah Ramayana, disebut juga Suwarnadwipa, Pulau Emas yang dipercaya sebagai Sumatera.
Bangsa Arab mengenalnya dengan sebutan Jaza’ir al-Jawi, Kepulauan Jawa. Nama ini melekat kuat hingga kini — di Tanah Suci, siapa pun dari Nusantara masih sering dipanggil “orang Jawa.” Dari luban jawi lahir kata “benzoe” dalam bahasa Latin, wangi kemenyan yang dulu hanya tumbuh di Sumatera. Bahkan, dalam pandangan Arab klasik, seluruh kepulauan ini disebut kulluh Jawi — semuanya Jawa.
Sementara bangsa Eropa punya pandangan lain. Mereka membagi Asia menjadi dua: Hindia Muka dan Hindia Belakang. Kepulauan ini kemudian disebut sebagai Indian Archipelago, East Indies, atau Hindia Timur. Dalam waktu panjang, istilah ini melekat di benak penjajah: negeri rempah yang jauh, bernama Hindia Belanda.
Dari Nusantara ke Asal Mula Nama Indonesia
Sebelum “Indonesia” menjadi kata yang membakar semangat kemerdekaan, ada satu istilah yang sempat mengemuka: Nusantara. Pada 1920, Ernest Douwes Dekker — cucu Multatuli — memperkenalkan istilah itu kembali dari naskah kuno Pararaton. Baginya, Nusantara bukan sekadar peninggalan Majapahit, melainkan simbol kebangkitan bangsa.
Jika dahulu Nusantara berarti “pulau-pulau seberang” — lawan dari Jawadwipa — maka oleh Dr. Setiabudi maknanya diubah menjadi “nusa di antara dua benua dan dua samudra.” Sebuah makna baru, lebih modern dan nasionalis. Sejak itu, istilah Nusantara mulai dipakai sebagai lambang kebersamaan, satu daratan besar dari Sabang sampai Merauke.
Namun perjalanan menuju nama “Indonesia” masih panjang. Nama itu baru akan lahir beberapa dekade kemudian dari tangan seorang ilmuwan di Singapura — bukan dari politisi, bukan pula dari raja.
Saat Kata “Indonesia” Tercetak untuk Pertama Kalinya
Tahun 1850 menjadi tonggak penting dalam asal mula nama Indonesia. Di Singapura, sebuah majalah ilmiah Journal of the Indian Archipelago and Eastern Asia (JIAEA) memuat tulisan George Samuel Windsor Earl dan James Richardson Logan. Earl mengusulkan dua nama: Indunesia dan Malayunesia. Ia memilih yang kedua, tapi Logan, rekan editornya, justru mengambil yang pertama. Huruf u ia ubah menjadi o agar lebih enak diucapkan — dan lahirlah istilah Indonesia.
Pada halaman 254 JIAEA volume IV, kata itu muncul untuk pertama kalinya: Indonesia. Logan menulis, “Saya lebih suka istilah geografis murni ‘Indonesia’, sinonim yang lebih pendek untuk Kepulauan Hindia.”
Tanpa ia sadari, kata yang ia ciptakan itu akan menjadi simbol sebuah bangsa yang belum lahir.
Sejak itu, istilah Indonesia perlahan menyebar di kalangan ilmuwan dan etnolog Eropa. Tiga puluh tahun kemudian, Adolf Bastian, profesor etnologi dari Universitas Berlin, menerbitkan Indonesien oder die Inseln des Malayischen Archipel (1884). Dari sinilah istilah itu masuk ke literatur Belanda — dan secara tidak sengaja, ke dalam benak para pelajar pribumi.
Dari Istilah Akademik Menjadi Nama Bangsa
Asal mula nama Indonesia tidak berhenti di meja para sarjana. Nama ini dihidupkan kembali oleh Ki Hajar Dewantara, atau Suwardi Suryaningrat, ketika ia mendirikan Indonesische Pers-bureau di Belanda pada 1913. Dari sinilah kata “Indonesia” mulai menemukan napas politiknya.
Beberapa tahun kemudian, Mohammad Hatta dan kawan-kawan mengubah nama Indische Vereeniging menjadi Perhimpoenan Indonesia. Dalam majalah mereka, Indonesia Merdeka, kata itu tak lagi berarti sekadar wilayah — melainkan cita-cita. Hatta menulis, “Nama Indonesia menyatakan suatu tujuan politik; melambangkan tanah air di masa depan.”
Dari Eropa, istilah ini menyeberang kembali ke tanah air. Tahun 1924, dr. Sutomo mendirikan Indonesische Studie Club. Disusul dengan lahirnya Partai Komunis Indonesia (PKI) dan organisasi kepanduan Natipij. Tiga lembaga ini menjadi tonggak awal penggunaan resmi nama Indonesia di tanah air.
Hingga akhirnya, pada 28 Oktober 1928, Sumpah Pemuda mematri tiga hal yang kelak menjadi dasar bangsa: satu tanah air, satu bangsa, satu bahasa — Indonesia. Dari situ, nama ini bukan lagi istilah ilmiah, melainkan simbol perjuangan.
Menamai Diri, Menemukan Diri
Asal mula nama Indonesia adalah kisah penamaan diri — sebuah kesadaran kolektif untuk berkata “kami ada.” Dari Nan-hai sampai Jaza’ir al-Jawi, dari Nusantara hingga Indonesia, bangsa ini belajar bahwa nama bukan sekadar bunyi, tapi pernyataan keberadaan.
Dan seperti kata Bung Hatta, “Nama Indonesia menyatakan suatu tujuan politik.” Nama itu kini menjadi rumah bagi jutaan lidah, bahasa, dan sejarah yang berbeda — tapi satu dalam cita.
Mungkin pertanyaan sesungguhnya bukan lagi siapa yang memberi nama Indonesia, melainkan: apakah kita sudah layak menyandangnya?




 
			









Leave a Review