Agama dan kekuasaan selalu punya hubungan yang rumit. Seperti dua kutub yang saling tarik-menarik, tapi juga saling membutuhkan. Setiap kali agama terlalu dekat dengan kekuasaan, sesuatu yang suci menjadi tawar. Tapi ketika kekuasaan jauh dari agama, manusia kehilangan arah moralnya.
Dalam sejarah panjang peradaban, agama selalu hadir di tiga titik paling menentukan: menasihati raja, mengingatkan penguasa, kadang juga menakut-nakuti rakyat. Tapi siapa yang mengingatkan ketika agama sendiri yang mulai mabuk kuasa?
Hari ini, di Indonesia, kita hidup dalam zaman di mana agama dan kekuasaan sudah tidak lagi berjarak. Para politisi berdoa di depan kamera, para tokoh agama berpolitik di belakang layar. Di ruang publik, keduanya berdansa dalam harmoni yang aneh — saling meminjam legitimasi, saling memberi panggung.
Agama dan Kekuasaan di Panggung Politik
Kata kunci ini bukan sekadar perbincangan akademik, tapi realitas yang kita lihat setiap hari. Agama dan kekuasaan kini berkolaborasi dalam bentuk paling halus: simbol, narasi, dan bahasa.
Ketika masa kampanye tiba, doa menjadi alat propaganda, khutbah berubah jadi iklan politik. Ayat digunakan untuk menyerang, bukan menyembuhkan. Bahkan kesalehan seseorang bisa jadi tiket menuju jabatan.
Padahal, kekuasaan sejatinya butuh kendali moral dari agama, bukan stempel halal dari ulama. Nabi Muhammad sendiri menolak kekuasaan yang datang tanpa tanggung jawab moral. Tapi di tangan manusia modern, nilai-nilai kenabian sering kali direduksi jadi alat retorika.
Dalam banyak kasus, yang terjadi bukan lagi kekuasaan yang dikawal oleh agama, tapi agama yang dikendalikan oleh kekuasaan. Para penguasa memelihara tafsir yang menguntungkan mereka, dan membungkam yang kritis dengan dalih “menjaga ketertiban umat.”
Politik Moral dan Religiusitas Publik
Di zaman ini, agama kehilangan keheningan karena terlalu sibuk tampil di depan publik. Religiusitas berubah menjadi tontonan kolektif: dari cara berpakaian, ucapan salam di rapat resmi, sampai doa pembuka di setiap acara kenegaraan.
Kita menjadi bangsa yang sangat religius dalam simbol, tapi sering lupa menerjemahkan moralitas ke dalam kebijakan. Dalam konteks politik, politik moral sering berhenti di wacana. Padahal, moral tanpa praktik hanyalah dekorasi — sesuatu yang indah di bibir, tapi hampa di hati.
Bahkan istilah “taat beragama” kini lebih mudah diukur dari seberapa sering seseorang tampil religius di media, bukan dari seberapa adil ia memperlakukan sesama. Kita lupa bahwa Tuhan tidak pernah menilai manusia dari atributnya, melainkan dari niat dan perbuatannya.
Agama dan Kekuasaan, Tafsir Kekuasaan yang Membius
Sejarah mencatat bahwa hampir setiap rezim besar dalam dunia Islam memiliki ulama istana — orang-orang yang bertugas membenarkan kebijakan penguasa atas nama Tuhan. Dari Umayyah sampai Abbasiyah, dari kolonialisme sampai era modern, tafsir agama selalu bisa dibentuk sesuai kepentingan.
Kekuasaan pandai bersembunyi di balik kesucian, dan agama sering terlalu sopan untuk membongkar topengnya. Di sini lahir apa yang saya sebut “tafsir kekuasaan” — tafsir yang menenangkan rakyat, tapi menguntungkan penguasa.
Ironisnya, umat sering lebih percaya pada tafsir yang menghibur daripada tafsir yang membebaskan. Kita mencintai ayat-ayat yang menjanjikan surga, tapi enggan mendengar ayat yang menuntut keadilan sosial. Padahal, keduanya bagian dari keseimbangan iman.
Mengembalikan Agama ke Hati, Bukan Meja Kekuasaan
Mungkin sudah waktunya kita memisahkan kembali antara kesalehan dan kekuasaan. Bukan memisahkan agama dari negara, tapi mengembalikan agama ke tempat asalnya — hati manusia.
Karena jika agama terus dipakai untuk mengatur urusan dunia tanpa kontrol nurani, maka agama akan kehilangan wibawa. Ia tidak lagi menjadi cahaya, tapi sekadar alat legitimasi bagi siapa pun yang memegang mikrofon.
Saya percaya, tugas agama bukan menaklukkan dunia, tapi menerangi manusia. Dan tugas kekuasaan bukan menafsirkan Tuhan, tapi menegakkan keadilan di bawah cahaya-Nya.
Keduanya bisa berdampingan, tapi hanya jika saling menunduk — bukan saling menunggangi.













Leave a Review