Sejarah kopi dan Islam tidak bisa dipisahkan. Di masa keemasan peradaban Islam, kopi bukan hanya minuman, tapi juga bagian dari cara berpikir. Para sufi di Yaman dan Hijaz konon meminumnya untuk tetap terjaga saat berzikir dan belajar di malam hari. Dan mungkin, tanpa kopi, dunia Islam takkan punya cukup energi untuk menemukan aljabar, rumah sakit, dan bintang-bintang.
Kopi membuat pikiran tajam, mata melek, dan mulut sibuk berdebat — tiga bahan utama kemajuan. Dari ruang zikir hingga madrasah, dari pelabuhan Mocha di Yaman hingga pasar Kairo, aroma biji panggang itu ikut mewarnai sejarah peradaban. Kini, lebih dari 1,6 miliar cangkir kopi diminum setiap hari di seluruh dunia — cukup untuk mengisi 3.000 kolam renang Olimpiade setiap pagi.
Kopi telah menjelma menjadi industri global, komoditas kedua terbesar setelah minyak bumi. Dari minuman para sufi di Yaman, kini menjadi bahan utama rapat di New York, diskusi di Berlin, hingga puisi di Bandung. Setiap tegukan membawa sedikit jejak masa lalu, ketika kopi masih diseduh dengan doa dan semangat mencari ilmu.
Qahwah, Kahveh, Koffie, dan Kopi
Kata “kopi” berasal dari bahasa Arab qahwah, yang berarti kekuatan — karena pada awalnya, biji kopi digunakan sebagai makanan berenergi tinggi. Dari dunia Arab, kata itu menyeberang menjadi kahveh dalam bahasa Turki Ottoman, lalu menjadi koffie dalam bahasa Belanda, hingga tiba di Nusantara sebagai “kopi”.
Bahasa, seperti halnya minuman, punya perjalanan spiritualnya sendiri. Dari padang pasir Yaman hingga pelabuhan Batavia, “qahwah” kehilangan huruf dan menambah makna. Ia bukan hanya simbol energi, tapi juga peradaban yang terbuka — karena setiap kata yang menyeberangi lautan membawa kisah perdagangan, pertukaran, dan rasa ingin tahu manusia.
Asal usul kopi sendiri konon ditemukan di Ethiopia, ketika penggembala bernama Kaldi melihat kambingnya menari setelah memakan biji merah dari pohon kopi. Dari sana, biji itu menyeberang Laut Merah menuju Arab dan menjadi teman setia para sufi di Yaman. Bangsa Arab menyempurnakan cara memanggang dan menyeduhnya, menjadikannya minuman sosial dan spiritual.
Dari Yaman, kopi menyebar ke Mesir, Turki, dan Persia. Ottoman memperkenalkannya di Konstantinopel dan membuka kedai kopi pertama di dunia, Kiva Han, sekitar tahun 1550. Dari Turki, kopi menyeberang ke Eropa melalui Venesia, lalu ke Paris dan London. Dalam setiap cangkir yang diseruput bangsawan Eropa, terselip jejak panjang dari dunia Islam.
Sejarah Kopi dan Islam di Dalam Cangkir
Namun perjalanan kopi tidak selalu semanis aromanya. Pada tahun 1600, para pendeta Italia meminta Paus Clement VIII mengharamkan kopi karena dianggap minuman “orang kafir”, minuman Muslim. Tapi Paus bijak itu, sebelum mengharamkan, memilih mencicipinya lebih dulu. Setelah satu teguk, ia justru berkata bahwa minuman seharum itu seharusnya tidak hanya diminum kaum Muslim, dan menyatakannya halal. Diplomasi yang enak dimulai dari cangkir.
Kopi juga jadi kambing hitam sosial. Tahun 1670, para wanita di London mengajukan petisi agar kopi dilarang karena suami-suami mereka lebih suka nongkrong di kedai kopi daripada di rumah. Raja Charles II sempat menyetujui, tapi larangan itu hanya bertahan sebelas hari. Rupanya, aroma kopi lebih kuat daripada aroma kekuasaan.
Di Jerman tahun 1732, Sebastian Bach bahkan menulis Coffee Cantata — lagu pujian kepada kopi, sekaligus sindiran terhadap larangan pemerintah pada perempuan peminum kopi. Lalu, tahun 1775, Raja Frederick the Great dari Prusia melarang rakyatnya minum kopi dan menganjurkan bir. Hasilnya? Protes besar. Ternyata, bahkan raja pun tak bisa melawan kebiasaan ngopi rakyatnya.
Dari Mekkah ke Mocha
Sejarah kopi dan Islam juga punya sisi spiritual yang tak kalah menarik. Di Mekkah dan Madinah abad ke-15, para ulama dan sufi meminumnya sebelum tahajud agar tetap terjaga. Di Yaman, para santri minum kopi sebelum belajar tafsir dan fiqih. Di Aleppo dan Kairo, kedai kopi menjadi tempat diskusi agama dan sastra — ruang di mana ilmu, tawa, dan doa bercampur di atas meja kayu.
Nama “Mocha” yang kini kita kenal berasal dari kota pelabuhan Al-Mukha di Yaman. Dari sinilah biji kopi diekspor ke seluruh dunia. Mocha bukan sekadar rasa; ia adalah sejarah — rasa manis dan pahit yang lahir dari kerja keras, zikir, dan perjalanan panjang manusia mencari kesadaran.
Ketika kita minum kopi hari ini, ada warisan yang ikut kita hirup — warisan dunia Islam yang menanam, meracik, dan menyebarkan minuman ini. Kopi adalah doa yang diseduh dan kesadaran yang dihirup. Tak heran bila dunia Islam dulu begitu cepat berkembang: mereka tahu cara menjaga mata dan pikiran tetap terjaga, bukan hanya dengan ilmu, tapi juga dengan kafein.
Sejarah Kopi dan Islam — Dari Iman ke Kafein
Kini, kopi bukan lagi milik siapa pun, tapi warisan semua peradaban yang pernah meneguknya. Namun, jika kita menelusuri aromanya hingga ke akar, kita akan menemukan dunia Islam di titik awal — di ladang Yaman, di zikir malam para sufi, di perjalanan dagang para saudagar, di semangat belajar para murid madrasah.
Sejarah kopi dan Islam bukan sekadar kisah tentang minuman dan agama, tapi tentang cara manusia menaklukkan kantuk demi pengetahuan. Setiap kali kita menyeruput kopi, mungkin yang sebenarnya kita hirup adalah semangat lama itu — semangat yang menolak berhenti berpikir.
Kalau kamu punya pengalaman pribadi tentang kopi — dari warung pinggir jalan sampai kedai modern — tulis di komentar. Siapa tahu, kisahmu adalah bab kecil dari sejarah panjang bagaimana secangkir kopi menyatukan dunia.




 
			








Leave a Review