Perbedaan Mazhab dalam Islam dan Persaudaraan Para Imam

Berbicara tentang perbedaan mazhab dalam Islam bukan sekadar menelusuri perbedaan hukum dan pandangan fikih, tetapi juga menyelami cara para imam besar menjaga persaudaraan di tengah perbedaan itu. Dalam sejarahnya, mereka bukan hanya ahli hukum dan pemikir, tapi juga manusia yang tahu bahwa iman tidak tumbuh di ruang yang seragam.

Yang menarik, hampir semua imam besar terhubung melalui hubungan guru dan murid. Imam Abu Hanifah pernah belajar kepada Imam Ja’far ash-Shadiq. Imam Malik menjadi guru bagi Imam Syafi’i sejak sang murid berusia tiga belas tahun. Imam Syafi’i sendiri berguru pada murid Imam Abu Hanifah untuk memahami fikih rasional. Dan akhirnya, Imam Syafi’i menjadi guru bagi Imam Ahmad bin Hanbal. Jalinan ini memperlihatkan bahwa ilmu dan kasih tumbuh berdampingan, bahkan di antara perbedaan yang tajam.

Jejak Cinta dan Ilmu di Tengah Perbedaan Mazhab dalam Islam

Imam Ja’far ash-Shadiq pernah berkata bahwa Islam tampak dalam siapa pun yang mengakui tiada Tuhan selain Allah, menegakkan salat, menunaikan zakat, berpuasa, dan berhaji. Dengan kata lain, Islam bukan milik satu golongan atau mazhab tertentu.

Imam Abu Hanifah dikenal sangat dekat dengan Ahlul Bait. Ia menolak kekuasaan Bani Umayyah dan Bani Abbasiyah yang menindas keluarga Nabi. Tentang Imam Ja’far, ia berkata, “Saya tidak pernah melihat seseorang yang lebih faqih dari Ja’far bin Muhammad.” Kecintaan itu bukan sekadar simpati, tapi keberanian membela kebenaran di masa politik yang keras.

Sementara Imam Syafi’i dikenal karena cintanya kepada keluarga Nabi hingga sering dituduh sebagai bagian dari Syiah. Namun, ia menjawab dengan tenang, “Jika mencintai keluarga Muhammad menjadikanku Rafidhah, maka saksikanlah wahai jin dan manusia bahwa aku Rafidhah.” Ia tahu, cinta yang tulus tak perlu takut pada label.

Para Imam yang Saling Menghormati

Dalam sejarah perbedaan mazhab dalam Islam, satu hal yang menonjol adalah rasa hormat antarimam. Imam Malik pernah memuji Abu Hanifah dengan berkata, “Jika tiang kayu ini dikatakan emas, ia mampu menjelaskannya dengan hujah.” Imam Syafi’i pun mengaku, “Semua orang yang memahami fikih ditanggung oleh Abu Hanifah.”

Imam Syafi’i bahkan datang setiap hari ke makam Abu Hanifah untuk bertabarruk. Ia berkata, “Jika aku menghadapi masalah, aku salat dua rakaat, lalu datang ke kuburnya memohon kepada Allah agar dimudahkan. Tak lama kemudian, hajatku terpenuhi.”

Tentang gurunya, Imam Malik, Syafi’i berkata, “Tiada seorang pun yang lebih aku percayai dalam urusan agama Allah melebihi Malik bin Anas.” Sedangkan Imam Ahmad bin Hanbal, murid Syafi’i, menyebutnya “mujaddid abad kedua dan imam bagi generasi berikutnya.”

Dari kisah ini terlihat bahwa perbedaan tidak memutus cinta, tapi justru memperluasnya. Para imam itu mengajarkan bahwa ilmu tanpa adab hanyalah kesombongan, dan perdebatan tanpa kasih hanyalah kebisingan.

Rahmat dan Cinta di Balik Perbedaan Mazhab dalam Islam

Imam Syafi’i pernah berdebat sengit dengan muridnya, Yunus bin Abdi, hingga sang murid marah dan meninggalkan majelis. Namun, Imam Syafi’i justru datang ke rumahnya untuk berdamai. Ia berkata, “Engkau boleh mengkritik pendapatku, tapi hormatilah perbedaan di antara kita.”

Inilah wajah sejati perbedaan mazhab dalam Islam: bukan ruang untuk menghakimi, tetapi ruang untuk belajar saling memahami. Para imam itu tahu bahwa rahmat Allah lebih luas dari sekadar satu pandangan. Mereka saling memuliakan karena tahu, tak ada satu pun manusia yang memonopoli kebenaran.

Mereka berdebat dengan dalil, bukan dengan amarah. Mereka menegakkan perbedaan dengan adab, bukan dengan kebencian. Dan dari tangan-tangan mereka, Islam tumbuh menjadi peradaban ilmu yang damai.

Kini pertanyaannya, jika para imam besar dalam sejarah perbedaan mazhab dalam Islam bisa saling menghormati dan mencintai, mengapa kita yang datang belakangan justru mudah saling mencaci hanya karena beda pandangan?

author avatar
Rully Syumanda
Arsitek, Penggiat Lingkungan dan Ayah dari tiga orang putri. Tidak terlalu relijius namun selalu berusaha berbuat baik dan percaya bahwa gagasan besar sering lahir dari percakapan kecil. Melalui laman ini, saya ingin berbagi cara pandang — bukan untuk menggurui, tapi untuk membuka ruang dialog. Tentang iman yang membumi, demokrasi yang manusiawi, dan kemakmuran yang tidak meninggalkan siapa pun.
Verified by MonsterInsights