Makan Bergizi Gratis, Dari Piring ke Buku

Kita sering denger jargon “pendidikan gratis untuk semua.” Kedengarannya keren, idealis, dan gampang dijual pas kampanye. Tapi coba pikir deh — apa gunanya sekolah gratis kalau anaknya nggak mampu menyerap pelajaran karena kekurangan gizi? Di titik inilah saya merasa, makan bergizi gratis jauh lebih mendesak daripada sekadar pendidikan gratis di atas kertas.

Saya selalu ngerasa ada yang janggal tiap lihat anak berseragam datang ke sekolah dengan wajah pucat, mata sayu, dan tenaga yang kayak udah habis sebelum jam pertama dimulai. Mereka hadir, tapi nggak benar-benar belajar. Masalahnya bukan malas, tapi karena tubuh dan otaknya nggak punya bahan bakar. Banyak dari mereka memang makan tiap hari, tapi gizinya minim. Nasi putih melimpah, tapi lauknya cuma mi instan, kerupuk, atau gorengan. Kenyang sih, tapi kosong zat gizi penting yang ngidupin sel otak.

Dan ini bukan cerita langka. Data PISA (Programme for International Student Assessment) nunjukin bahwa kemampuan literasi anak SMP kelas 3 di Indonesia setara dengan anak SD kelas 6 di banyak negara lain. Bayangin, beda tiga tahun pelajaran cuma karena kemampuan berpikir dan menyerap informasi. Ini bukan karena guru nggak bisa ngajar, tapi karena anak-anak kita lemah secara biologis — otaknya nggak siap untuk berpikir cepat dan dalam.

Masalahnya Bukan Malas, Tapi Gizi

Banyak anak nggak kekurangan makan, tapi kekurangan zat penting kayak zat besi, yodium, dan protein. Mereka kenyang, tapi tetap lesu. Secara fisik hadir di kelas, tapi mentalnya ketinggalan jauh. Saya sering lihat video di medsos: anak SMA bingung jawab soal sederhana kayak 21 dibagi 3 atau 12 dikali 4. Orang tertawa, tapi buat saya itu tragedi yang tenang — bukti nyata bahwa bangsa ini masih gagal memberi asupan otak yang layak untuk generasi mudanya.

Lucunya, Indonesia sebenarnya udah punya “pendidikan gratis.” Sekolah negeri nggak lagi menarik iuran besar. Ada dana BOS dari pusat, ada bantuan seragam, buku, sampai beasiswa. Tapi hasilnya tetap begitu-begitu aja. Kenapa? Karena yang bikin anak nggak bisa belajar bukan lagi biaya sekolah, tapi kemampuan otaknya buat fokus dan paham. Pendidikan gratis cuma bekerja kalau tubuh dan otak anak sudah siap untuk belajar. Dan kesiapan itu cuma bisa datang dari gizi yang cukup.

Pendidikan Gratis Nggak Akan Cukup

Kita terlalu sering ngira solusi pendidikan adalah kurikulum baru atau pelatihan guru. Padahal akar masalahnya biologis. Otak anak nggak bisa menyerap pelajaran kalau kekurangan energi dan nutrisi mikronutrien. Bahkan, studi menunjukkan kekurangan zat besi menurunkan IQ rata-rata 5–10 poin. Jadi mau kasih modul pembelajaran secanggih apa pun, hasilnya tetap jeblok kalau gizinya nggak dibenahi.

Saya percaya, makan bergizi gratis harusnya jadi fondasi pendidikan nasional. Ini bukan charity, tapi strategi pembangunan manusia. Negara-negara seperti Jepang, Finlandia, dan Korea Selatan paham betul hal ini. Mereka punya program makan siang bergizi di sekolah sejak lama — bukan cuma buat mengenyangkan, tapi untuk memastikan setiap anak punya kesempatan yang sama untuk berpikir jernih dan tumbuh sehat.

Dan yang menarik, makan bergizi gratis bisa jadi mesin ekonomi lokal. Bayangin kalau setiap bahan makanannya dibeli dari petani, nelayan, dan UMKM sekitar sekolah. Beras dari desa sebelah, sayur dari pasar lokal, ikan dari nelayan setempat. Uang negara nggak bocor ke kontraktor besar, tapi muter di desa dan kota kecil. Anak sehat, ekonomi hidup, dan rantai sosialnya kuat.

Saya tahu, kebijakan kayak gini pasti dibilang mahal. Tapi coba bandingkan biayanya dengan dampaknya. Satu anak stunting akan kehilangan potensi pendapatan seumur hidup hingga 10–17%. Kalau generasi kita terus kehilangan kemampuan berpikir jernih karena gizi buruk, siapa yang akan ngurus masa depan negara ini nanti?

Makan Bergizi Gratis, Masa Depan Dimulai dari Piring

Pendidikan gratis tetap penting, tapi sekarang waktunya ganti urutan prioritas. Mulai dari piring, baru ke buku. Karena kalau anak-anak nggak kuat mikir, semua investasi di pendidikan cuma akan berhenti di papan tulis. Kita bisa punya sekolah megah, tapi tanpa nutrisi, isinya cuma anak-anak yang berjuang menahan kantuk dan pusing.

Saya percaya, masa depan bangsa ini bukan ditentukan di ruang kelas yang indah, tapi di meja makan yang sederhana — tempat anak belajar makan bergizi, belajar tumbuh, dan akhirnya belajar memahami dunia. Kadang, revolusi besar memang dimulai dari hal sekecil sarapan.

author avatar
Rully Syumanda
Arsitek, Penggiat Lingkungan dan Ayah dari tiga orang putri. Tidak terlalu relijius namun selalu berusaha berbuat baik dan percaya bahwa gagasan besar sering lahir dari percakapan kecil. Melalui laman ini, saya ingin berbagi cara pandang — bukan untuk menggurui, tapi untuk membuka ruang dialog. Tentang iman yang membumi, demokrasi yang manusiawi, dan kemakmuran yang tidak meninggalkan siapa pun.
Verified by MonsterInsights