Kenapa Rasulullah Lahir di Arab

Gw selalu penasaran dengan pertanyaan klasik: kenapa Rasulullah lahir di Arab? Kenapa tidak di Eropa, kenapa tidak di tanah Jawa, kenapa tidak disini atau disitu. Toh di sini sudah banyak lahir agama-agama yang saat ini terkesan terbuang karena masuknya agama-agama dari tanah Arab.

Kabah kuno di Mekkah pada masa kelahiran Rasulullah simbol awal wahyu dan pusat tauhid di tengah dunia yang gelap
Kabah di masa silam saksi lahirnya Rasulullah Di lembah yang sunyi itu Tuhan menyiapkan panggung bagi cahaya yang kelak menembus seluruh peradaban

Pertanyaan sederhana yang justru membuka ruang tafsir lebih besar. Kaum orientalis sejak dulu punya jawaban yang terdengar “ilmiah”, tapi lebih mirip prasangka.

Mereka menyebut bangsa Arab sebagai bangsa biadab—dan dari situ lahir narasi panjang bahwa Nabi Muhammad lahir di tengah masyarakat paling buruk di dunia. Tapi buat gw, narasi itu terlalu malas untuk disebut ilmu, dan terlalu rasis untuk dianggap sebagai sebuah kebenaran.

Di Indonesia, ide ini pertama kali dipopulerkan Snouck Hurgronje. Ironisnya, banyak kalangan modern dan liberal malah mengutipnya dengan bangga. Bahkan dalam buku-buku sejarah Islam, sisa pandangan orientalis itu masih diselipkan dengan halus. Gw rasa ini bukan sekadar miskonsepsi akademik—tapi bias kolonial yang menolak menerima bahwa sebuah peradaban bisa lahir dari padang pasir.

Seperti halnya bias kolonial yang menolak tehnologi pembuatan pyramid dilakukan oleh sebuah bangsa yang “bukan mereka” sehingga dihubung-hubungkan dengan alien dari luar angkasa.

Tesis “Arab Biadab” yang Dipelintir

Tesis itu menyebut bahwa Arab paling biadab karena praktik mengubur anak perempuan hidup-hidup. Tapi kalau biadab dijadikan ukuran, dunia lain juga sama rusaknya.

Eropa punya adu gladiator sampai mati.
Persia menghalalkan ayah menikahi anak kandung.
Afrika mengenal kanibalisme.
Cina memotong organ pria untuk dijadikan kasim kerajaan.
India membakar istri yang ditinggal mati suaminya.

Jadi, kalau semua peradaban punya sisi kelamnya sendiri, kenapa hanya Arab yang diserang? Gw pikir ini bukan soal fakta, tapi soal siapa yang menulis sejarah dan dari sudut mana mereka memandangnya.

Orientalis selalu gagal memahami konteks wahyu. Mereka melihat Islam lahir karena “ketidakteraturan sosial”, bukan karena desain ilahi. Padahal, kalau kita balik cara pandangnya, Rasulullah lahir di Arab justru karena hanya di tanah itu wahyu bisa turun tanpa ditarik ke dalam perebutan kekuasaan politik, filsafat, atau dogma gereja.

Kenapa Rasulullah Lahir di Arab Adalah Takdir

Kalau gw renungkan, ada pola yang jelas. Mekah sudah disiapkan lama sebelum Muhammad lahir.

Ka’bah berdiri di sana—pusat bumi, titik mula sejarah manusia. Dari Nabi Adam, Syits, Nuh, Ibrahim, sampai Ismail, semuanya membawa satu garis: garis tauhid. Dan di tanah tandus itulah kelahiran terakhir kenabian dijanjikan.

Bukan karena Arab “paling parah”, tapi karena di sanalah fondasi spiritual dunia pertama kali diletakkan.

Allah sendiri memilih Ismail dan ibunya, Hajar, untuk tinggal di lembah gersang itu. Tempat yang tidak punya sungai, tidak punya istana, tapi punya satu hal: keheningan. Dan dari keheningan itu, datang risalah terakhir yang akan mengguncang dunia.

Bangsa yang Keras, Tapi Setia

Gw nggak menyangkal bahwa bangsa Arab punya sisi keras. Mereka perang, fanatik, dan penuh harga diri. Tapi kerasnya Arab bukan kelemahan—itu karakter.

Dari tanah keras itu muncul orang-orang yang berani berkata “tidak” kepada tirani. Mereka bisa jadi keras kepala, tapi juga paling teguh dalam kesetiaan.

Lihatlah Abu Bakar yang setia, Umar yang tegas, Utsman yang lembut, dan Ali yang berani. Kalau Islam pertama kali turun di Romawi atau Persia, mungkin orang akan bilang ini produk politik. Tapi ketika ia lahir di Mekkah—tanpa kerajaan, tanpa kekuasaan—maka ia hanya bisa disebut satu hal: wahyu.

Arab Bukan Biadab, Tapi Terpilih

Rasulullah pernah bersabda bahwa Allah memilih bangsa Kinanah dari keturunan Adam, memilih Quraisy dari Kinanah, memilih Bani Hasyim dari Quraisy, dan memilih beliau dari Bani Hasyim.

Hadis ini bukan pujian etnis, tapi penegasan bahwa Tuhan memilih ruang dan waktu dengan presisi yang tak bisa diukur logika sejarah.

Jadi bukan karena Arab paling biadab, tapi karena di tanah itu masih tersisa nilai: wibawa, kesetiaan, dan keberanian. Tiga hal yang kemudian menjadi fondasi umat Islam pertama.

Refleksi Antara Prasangka dan Wahyu

Sekarang, ketika gw dengar lagi orang bilang “Nabi lahir di Arab karena bangsa itu biadab,” gw cuma bisa senyum kecil.

Sejarah bukan cuma tentang siapa yang salah, tapi siapa yang mau belajar dengan rendah hati.

Pertanyaan kenapa Rasulullah lahir di Arab seharusnya bukan jadi bahan debat antara Barat dan Timur, tapi pengingat bahwa wahyu turun bukan di tempat paling indah, tapi di tempat yang paling siap menerima kebenaran.

Kadang Tuhan memilih tempat yang tak terlihat orang lain—padang pasir yang kering, hati manusia yang keras, atau bangsa yang diremehkan dunia—untuk menumbuhkan cahaya.
Dan mungkin, itu juga cara Tuhan bilang: jangan pernah remehkan dari mana cahaya itu datang.

Wallahu A’lam Bishawab

author avatar
Rully Syumanda
Arsitek, Penggiat Lingkungan dan Ayah dari tiga orang putri. Tidak terlalu relijius namun selalu berusaha berbuat baik dan percaya bahwa gagasan besar sering lahir dari percakapan kecil. Melalui laman ini, saya ingin berbagi cara pandang — bukan untuk menggurui, tapi untuk membuka ruang dialog. Tentang iman yang membumi, demokrasi yang manusiawi, dan kemakmuran yang tidak meninggalkan siapa pun.
Verified by MonsterInsights