Jilbab sebagai Produk Budaya

Saya sering mendengar orang berkata, “Jilbab adalah perintah Tuhan.”
Namun di sisi lain, sejarah memperlihatkan bahwa jilbab sebagai produk budaya tak bisa diabaikan begitu saja. Ia tidak turun dari langit dalam bentuk yang sudah jadi. Ia tumbuh perlahan, melewati perjalanan manusia, zaman, dan tafsir. Saat agama lahir, budaya telah lebih dulu menyiapkan panggungnya. Di situlah jilbab berdiri—antara keyakinan dan kebiasaan, antara iman dan interpretasi sosial.

Dari Kebudayaan ke Kewajiban

Antropolog seperti Prof. Sumanto Al Qurtuby pernah menulis bahwa tradisi berhijab telah ada ribuan tahun sebelum Islam. Ia bukan produk tunggal agama, melainkan bagian dari evolusi peradaban. Di Mesopotamia, perempuan bangsawan memakai penutup kepala untuk menandai status sosial. Di Yunani dan Romawi kuno, hijab menjadi lambang kesopanan dan kehormatan, bukan doktrin teologis.

Ketika Islam datang di abad ke-7, masyarakat Arab sudah mengenal tradisi menutup kepala. Budaya Byzantium dan Persia di sekitarnya bahkan telah lama mempopulerkan busana panjang dan kain penutup wajah bagi perempuan kelas atas. Maka ketika teks Al-Qur’an berbicara tentang kesopanan berpakaian, pesan itu hidup di tengah tradisi yang sudah mapan.

Islam kemudian memberi makna baru pada kebiasaan lama itu. Penutup kepala bukan lagi sekadar simbol status, tapi tanda kesadaran spiritual—bahwa tubuh adalah anugerah yang patut dihormati. Dalam hal ini, agama dan budaya tidak saling bertentangan. Seperti air yang menyesuaikan wadahnya, nilai-nilai berpakaian menyesuaikan ruang dan waktu.

“Semua jenis pakaian itu sekuler karena produk kebudayaan manusia,” tulis Sumanto dalam salah satu artikelnya di The Conversation.
“Manusialah yang menjadikannya religius.”

Pernyataan ini mengingatkan kita bahwa pakaian, termasuk jilbab, tidak lahir untuk menandai kesalehan seseorang. Ia menjadi saksi perjalanan manusia dalam mencari makna kesopanan dan ketuhanan.

Jilbab sebagai Produk Budaya VS Ragam dan Tafsir di Dunia Islam

Jika jilbab adalah produk budaya, maka keberagamannya di dunia Islam adalah buktinya. Di Arab Saudi, perempuan memakai abaya dan niqab; di Iran, chador; di Asia Selatan, purdah; di Turki, yasmak; di Malaysia, tudung; dan di Indonesia, kerudung atau selendang. Semua menutup aurat dengan cara berbeda, tetapi tujuan spiritualnya sama.

Perbedaan ini menunjukkan bahwa jilbab tidak bisa dilepaskan dari konteks sosial. Ia menyesuaikan iklim, tradisi, bahkan politik. Di Indonesia, bentuk busana muslimah modern baru populer pada 1980-an—bersamaan dengan bangkitnya gerakan Islam perkotaan dan media dakwah. Sebelumnya, perempuan Muslim cukup mengenakan kebaya dan selendang, dan itu dianggap sopan serta Islami.

Artinya, makna jilbab tidak tunggal. Ia hidup dalam dialog antara teks suci dan budaya lokal. Dalam hal ini, kita tidak sedang memperdebatkan siapa yang benar, melainkan bagaimana manusia memahami spiritualitas melalui pakaian yang ia kenakan.

Ketika Pakaian Menjadi Identitas

Kini, jilbab bukan hanya simbol ajaran, tapi juga identitas. Di banyak tempat, ia menjadi tanda komunitas, bahkan alat politik. Ada yang mengenakannya karena iman, ada karena budaya, ada pula karena tekanan sosial. Namun ketika jilbab sebagai produk budaya dipahami secara jernih, kita akan melihatnya bukan sebagai instruksi yang kaku, melainkan ekspresi diri yang cair.

Saya sering berpikir, apakah kesalehan benar diukur dari kain di kepala? Ataukah dari niat di hati yang ingin menjaga martabat dan menghormati sesama? Pertanyaan ini tidak menolak ajaran agama, tetapi mengajak kita memahami akar sejarah dan konteks sosialnya. Karena tanpa pemahaman, keimanan bisa berubah menjadi penghakiman.

Jilbab sebagai Produk Budaya, Antara Iman, Budaya, dan Kesadaran

Melihat ke belakang, setiap generasi menafsirkan jilbab dengan caranya sendiri. Di masa Nabi, ia adalah bentuk kesopanan yang mengikuti tradisi Arab. Di masa modern, ia menjadi simbol identitas dan kadang alat politik. Namun di balik segala bentuk dan tafsir itu, jilbab tetaplah ruang batin yang personal—sebuah percakapan sunyi antara manusia dan Tuhannya.

Bagi sebagian perempuan, memakai jilbab adalah panggilan iman. Bagi sebagian lain, melepasnya adalah kejujuran spiritual. Keduanya sama-sama lahir dari kesadaran, bukan paksaan. Sebab agama yang memuliakan kebebasan hati tidak pernah meminta manusia menutupi pikirannya.

Pada akhirnya, yang penting bukanlah seberapa rapat kita menutup tubuh, tetapi seberapa luas kita membuka hati. Karena jilbab sebagai produk budaya mengajarkan kita bahwa iman dan kebudayaan tidak harus saling meniadakan. Keduanya bisa berjalan berdampingan—saling menguatkan, saling menuntun, dan bersama-sama tumbuh dalam cahaya kesadaran.

author avatar
Rully Syumanda
Arsitek, Penggiat Lingkungan dan Ayah dari tiga orang putri. Tidak terlalu relijius namun selalu berusaha berbuat baik dan percaya bahwa gagasan besar sering lahir dari percakapan kecil. Melalui laman ini, saya ingin berbagi cara pandang — bukan untuk menggurui, tapi untuk membuka ruang dialog. Tentang iman yang membumi, demokrasi yang manusiawi, dan kemakmuran yang tidak meninggalkan siapa pun.
Verified by MonsterInsights