Kita sering mendengar kata “jilbab” seolah ia lahir langsung dari langit. Namun, jika menelusuri sejarah jilbab dengan hati yang terbuka, kita akan menemukan bahwa ia telah hidup jauh sebelum agama mengenalnya. Sejarah jilbab adalah cermin tentang bagaimana manusia membangun makna atas tubuh, kehormatan, dan kesopanan—jauh sebelum istilah “aurat” dikenal dalam teks suci.
Di titik itu aku sadar, bahwa selembar kain di kepala bisa menyimpan kisah peradaban yang lebih tua dari doa. Ia tumbuh dari tangan manusia yang mencari cara untuk menyatakan martabatnya di hadapan dunia.
Sejarah Jilbab di Zaman Mesopotamia dan Dunia Kuno
Catatan tertua tentang sejarah jilbab ditemukan di Mesopotamia sekitar 2.500 tahun sebelum Masehi. Pada masa itu, penutup kepala bukan tanda kesalehan, melainkan simbol status sosial. Perempuan bangsawan diwajibkan mengenakannya sebagai tanda kehormatan, sementara perempuan rendahan atau budak justru dilarang memakainya. Jika melanggar, hukumannya berat—karena hijab kala itu adalah lambang kehormatan sosial, bukan perintah Tuhan.
Dari Mesopotamia, tradisi itu mengalir ke Yunani dan Romawi. Dalam karya klasik seperti Odyssey karya Homer, perempuan-perempuan digambarkan menutupi diri mereka dengan kain panjang saat keluar rumah—bukan karena takut dosa, melainkan karena nilai kesopanan yang dipegang masyarakat kala itu. Di masa itu, hijab bukanlah ibadah, tetapi bahasa sosial untuk menandai siapa yang pantas dihormati.
Jika kita melihat patung-patung dari era Helenistik, kita akan menemukan bentuk awal jilbab dalam rupa selendang yang menjuntai lembut menutupi kepala dan bahu. Sebuah ekspresi estetika dan moral yang lahir dari kebudayaan, bukan teologi.
Dari Tradisi ke Teks: Lahirnya Tafsir Keagamaan
Ketika agama-agama besar lahir di Timur Tengah, warisan budaya ini tidak lenyap—ia justru berasimilasi. Dalam kitab Perjanjian Lama, perempuan digambarkan menutupi kepalanya sebagai tanda kehormatan. Surat Paulus kepada Jemaat Korintus bahkan menyebut bahwa perempuan yang tidak berpenutup kepala ketika beribadah “tidak pantas.” Hingga kini, biarawati Katolik masih mengenakan kerudung sebagai lambang kesederhanaan dan pelayanan, bukan semata dogma.
Ketika Islam datang di tanah Arab abad ke-7, dunia sudah dikelilingi oleh pengaruh Byzantium dan Persia—dua peradaban yang telah lama menjadikan penutup kepala sebagai bagian budaya urban. Maka ketika Al-Qur’an berbicara tentang kesopanan berpakaian, konteks sosial itu tidak bisa diabaikan. Islam menghidupkan kembali makna moralnya: kesederhanaan, rasa malu (haya), dan penghormatan terhadap diri sendiri.
Dalam konteks itu, para perempuan Muslim awal menafsirkan ajaran berpakaian dengan cara mereka sendiri. Tidak ada bentuk tunggal dari hijab. Di Mekkah, Madinah, Kufa, atau Kairo—bentuknya selalu berubah mengikuti iklim, budaya, dan nilai lokal. Jilbab bukan hanya tentang kain, tapi tentang kesadaran diri di hadapan masyarakat.
Menafsir Ulang Sejarah Jilbab
Ketika aku membaca tulisan-tulisan Prof. Sumanto Al Qurtuby, antropolog asal Indonesia yang kini mengajar di King Fahd University, aku menemukan pandangan yang menenangkan. Menurutnya, semua jenis pakaian—termasuk jilbab—adalah produk budaya manusia. Manusialah yang membuatnya “religius,” bukan sebaliknya.
“Dalam Islam, tradisi berpakaian perempuan, entah itu hijab, niqab, atau burqa, adalah kebudayaan sekuler,” tulisnya (sumber).
Pernyataan itu menggugahku. Karena ternyata, dalam sejarah jilbab, agama dan budaya tak pernah berjarak. Agama memberi makna, tapi budaya memberi bentuk. Itulah sebabnya jilbab bisa tampak sangat berbeda di Arab, Persia, Afrika, atau Nusantara—karena setiap tanah menafsir iman dengan cara yang paling akrab baginya.
Di Indonesia sendiri, bentuk penutup kepala perempuan lebih menyerupai kerudung atau selendang. Sebelum kata “jilbab” populer, perempuan Jawa memakai kemben dan selendang panjang untuk menutup dada dan bahu. Di Minang, perempuan tua memakai tengkuluk tanduk. Semua itu adalah bentuk kesopanan lokal—manifestasi nilai yang sama, dengan bahasa budaya yang berbeda.
Di Antara Iman dan Budaya
Kini, ketika perdebatan soal jilbab kembali menjadi sorotan—antara yang mewajibkan dan yang menganggapnya sekadar pilihan—aku justru melihatnya sebagai kesempatan untuk memahami diri kita sendiri. Sejarah jilbab menunjukkan bahwa iman dan budaya selalu berjalan beriringan. Tidak ada iman tanpa konteks; tidak ada budaya tanpa nilai.
Mungkin benar bahwa jilbab hari ini telah menjadi simbol identitas keagamaan. Tapi jika kita menengok sejarah jilbab, kita akan tahu bahwa ia lahir dari pencarian manusia akan makna—bukan hanya tentang menutup kepala, tapi tentang bagaimana manusia memahami kehormatan dan kesopanan di zamannya.
Dan dari sana aku belajar satu hal: kesalehan tidak selalu lahir dari wahyu, kadang ia tumbuh dari kebiasaan manusia yang menaruh hormat pada martabat dirinya sendiri. Itulah yang membuat sehelai kain menjadi lebih dari sekadar pakaian—ia menjadi bahasa yang terus berubah bersama waktu.

Leave a Reply