Selama berabad-abad manusia mencoba memahami asal-usul alam semesta. Ilmu pengetahuan membawa banyak jawaban, tapi juga melahirkan banyak keangkuhan. Penganut materialisme meyakini bahwa segalanya berasal dari materi yang abadi — tanpa sebab, tanpa pencipta. Namun teori Big Bang mematahkan kepercayaan itu dengan sederhana: alam semesta memiliki awal, dan apa pun yang memiliki awal, pasti memiliki sebab.
Teori ini menunjukkan bahwa seluruh zat dan energi pernah berada dalam satu titik tanpa ruang, tanpa waktu. Lalu, dalam satu momen luar biasa, titik itu meledak — bukan sembarang ledakan, tetapi ledakan yang melahirkan hukum, waktu, dan keseimbangan.
(NASA: Big Bang Overview)
Big Bang Ketika Ledakan Menjadi Bukti Keteraturan
Dalam pandangan ilmiah, Big Bang menandai permulaan fisika, bukan kehancuran. Dari kekosongan total, muncul galaksi yang teratur, gravitasi yang presisi, dan hukum-hukum yang berlaku universal. Fakta ini membuat para ilmuwan seperti Stephen Hawking dan Paul Davies tak bisa menutup mata — bahwa ada “penyetelan halus” (fine-tuning) yang tak mungkin acak.
Namun di luar perhitungan rumit itu, Big Bang juga menampar kesombongan manusia. Bahwa ilmu pengetahuan bukanlah pengganti Tuhan, melainkan jendela kecil untuk memahami kebesaran-Nya.
Materialisme, yang menolak adanya sesuatu di luar materi, kini berhadapan dengan bukti bahwa materi sendiri berasal dari “ketiadaan”. Dalam fisika, bahkan ruang dan waktu diciptakan bersamaan dengan energi pertama. Maka wajar bila banyak ilmuwan modern mengakui bahwa di balik peristiwa kosmik itu ada “tangan tak terlihat” yang mengatur semuanya.
(Paul Davies, The Mind of God)
Big Bang bukan sekadar teori ilmiah. Ia adalah pengingat bahwa segala sesuatu punya awal, dan segala awal memiliki maksud. Suatu hari nanti, materialisme mungkin dikenang bukan sebagai kemenangan sains, melainkan sebagai bentuk keangkuhan intelektual yang mencoba menyingkirkan Sang Pencipta dari persamaan.
Dan mungkin, Bung, yang tersisa dari semua pencarian manusia bukan lagi pertanyaan tentang “apa yang terjadi setelahnya”, tapi kesadaran: bahwa kita hidup di antara sisa-sisa cahaya dari ledakan suci yang dulu mengawali segalanya.

Leave a Reply