Kita sering bicara soal dosa, surga, dan pahala, tapi jarang banget ngomongin udara panas yang makin bikin napas berat. Padahal, kalau kita jujur, agama terhadap perubahan iklim itu sering cuma berhenti di ayat, bukan di aksi.
Seringkali di dalam mesjid yang megah yang kita dengar adalah khutbah tentang moral, tapi nggak ada satu kalimat pun soal bumi yang sedang sekarat.
Lucunya, di luar masjid itu, ada sungai yang udah berubah warna.
Ironi? Nggak juga. Kita memang pintar memisahkan iman dan kenyataan.
Kadang saya mikir, mungkin kita lebih takut kehilangan tempat ibadah daripada kehilangan tempat tinggal di bumi.
Doa, Tapi Tak Menyentuh Tanah
Kita semua pernah berdoa minta hujan. Tapi habis doa, siapa di antara kita yang benar-benar nanam pohon?
Kita minta udara bersih, tapi masih beli plastik, buang sampah sembarangan, dan nyalahin “takdir Tuhan.”
Masalahnya, agama terhadap perubahan iklim sering kali dibungkam oleh dogma lama — seolah alam itu cuma latar, bukan bagian dari iman.
Padahal, setiap daun yang gugur, setiap air yang surut, adalah ayat lain dari Tuhan yang nggak pernah kita baca.
Saya nggak bilang iman kita salah. Tapi bisa jadi, kita lupa bahwa menjaga bumi juga ibadah.
Kalau iman cuma bicara tentang langit, siapa yang bakal jaga tanah?
Di Warung Kopi, Bumi Dibicarakan
Saya suka ngopi di warung kecil pojokan pasar. Di situ, orang-orang ngomong apa aja — politik, harga beras, gosip tetangga. Tapi jarang banget yang nanya, “eh, kenapa cuaca sekarang kayak neraka ya?”
Coba bayangin kalau percakapan kecil kayak gitu mulai berubah.
Kalau orang-orang di warung kopi mulai ngomongin iklim dengan gaya mereka sendiri — tanpa harus paham sains, cukup paham bahwa bumi mulai nggak sehat. Di situ mungkin iman bisa nemuin rumah barunya.
Karena, ya, perubahan nggak harus lahir dari mimbar. Kadang, ia mulai dari meja kopi, dari obrolan ringan yang jujur.
Dan mungkin, dari situ juga agama terhadap perubahan iklim akhirnya punya suara: bukan lewat khutbah, tapi lewat kepedulian kecil yang jadi nyata.
Kalau Agama Mau Turun ke Bumi
Saya percaya, Tuhan nggak pernah minta kita memilih antara ibadah dan menjaga bumi.
Dua-duanya ya satu paket.
Kalau kita masih bisa sujud, masih bisa bernapas, itu karena bumi belum sepenuhnya menyerah.
Tapi kalau agama terhadap perubahan iklim terus diam, lama-lama yang hilang bukan cuma udara bersih, tapi juga makna dari kata “iman.” Sebab iman tanpa tanggung jawab pada ciptaan, ya cuma kata-kata indah tanpa isi.
Saya nggak tahu apakah Tuhan kecewa. Tapi saya yakin, Dia juga sedih melihat kita rajin berdoa, tapi malas bertindak.
Dan mungkin, nanti di akhir zaman, pertanyaan pertama bukan “apa agamamu,” tapi “apa yang kamu lakukan ketika bumi sekarat?”













Leave a Review