Bangsa Arab dan Yahudi, Satu Rumpun, Satu Nama Tuhan

Bangsa Arab dan Yahudi. Dua nama yang sering disebut sebagai dua ujung keyakinan yang saling berseberangan, padahal keduanya lahir dari satu tanah, satu garis darah, dan bahkan satu sebutan bagi Tuhan. Saya selalu merasa aneh ketika mendengar orang berdebat keras tentang siapa yang paling benar dalam menyembah, sementara sejarah mencatat: mereka dulu berdoa pada Tuhan yang sama, dengan bahasa yang hanya berbeda sedikit di lidah.

Dalam tradisi Semitik, bangsa Arab dan Yahudi adalah dua cabang dari satu rumpun tua — keturunan Sem, putra Nabi Nuh. Dari Sem inilah lahir Aram, Eber, Ismael, dan Ishak, nama-nama yang menjadi dasar bagi munculnya berbagai suku dan bangsa di gurun Arabia hingga lembah Yudea. Jika kita menelusuri lebih dalam, ternyata jalur keturunan ini seperti sungai bercabang, tapi mengalir dari mata air yang sama.

Rumpun Semitik dan Satu Bahasa Tuhan

Dalam bahasa kuno rumpun Semitik, kata il atau el adalah sebutan bagi Tuhan. Bangsa Amorit menyebut-Nya ilu, bangsa Ibrani menyebut el, sementara bangsa Arab menyebut ilah, yang kemudian dalam bentuk tunggal menjadi Allah. Kata ini bukan ciptaan satu agama tertentu, tapi warisan bersama yang telah diucapkan sejak ribuan tahun sebelum agama-agama formal lahir.

Ketika saya membaca naskah-naskah kuno dari Mesopotamia dan Amorit, ada rasa kagum yang tak bisa dijelaskan. Di sana tertulis bahwa “il” dipanggil sebagai Bapak Langit dan Pencipta Kosmos. Dari situ saya sadar: bahkan sebelum manusia berdebat tentang siapa yang benar, mereka sudah menyebut nama yang sama dalam doa — hanya dalam bahasa yang berbeda.

Bukti-bukti arkeologi dari Babilonia dan Ugarit menunjukkan betapa luasnya penggunaan nama il/el. Di Arab Selatan, nama ini berubah menjadi ilah, dan di Arab Utara menjadi Allah. Bagi bangsa Ibrani, El Shaddai atau Elohim adalah bentuk penghormatan tertinggi kepada Tuhan yang sama. Jadi, ketika seorang Arab menyebut “Allah” dan seorang Yahudi menyebut “El,” mereka sebenarnya memanggil satu nama yang sama dari akar bahasa yang sama pula.

Abraham, Bapak Bangsa Arab dan Yahudi

Di tengah gurun panjang sejarah itu, berdirilah sosok yang menghubungkan dua umat besar: Abraham — atau Ibrahim. Dari keturunannya, lahir dua jalur besar. Ishak melahirkan bangsa Israel, sementara Ismael menurunkan bangsa Arab. Dua saudara ini, meski berbeda jalan, sesungguhnya masih membawa doa yang sama kepada Tuhan yang sama.

Saya sering berpikir: kalau Abraham bisa berbicara hari ini, mungkin ia hanya tersenyum melihat anak cucunya saling menuding atas nama Tuhan. Sebab yang ia wariskan bukanlah konflik, melainkan keyakinan. Dalam kitab Kejadian (10:22–29) dan juga dalam Al-Qur’an (QS. Yunus:19), tertulis jelas bahwa manusia dahulu hanyalah satu umat — lalu mereka berselisih.

Perbedaan itu bukan karena Tuhan berubah, tapi karena manusia mulai merasa berhak menentukan siapa yang paling benar dalam menyebut nama-Nya. Di titik ini saya merasa, barangkali agama bukan tentang siapa yang paling suci, tapi siapa yang paling mengingat bahwa kita semua berasal dari satu kasih yang sama.

Satu Tuhan, Banyak Jalan

Bangsa Arab, baik yang beragama Islam maupun non-Islam, berasal dari jalur yang sama dengan bangsa Yahudi — keturunan Abraham. Mereka berbagi darah, bahasa, dan bahkan simbol-simbol keimanan. Ketika para arkeolog menemukan prasasti di Amorit dan Akkadia, mereka menemukan nama Tuhan yang sama: il. Bahkan hingga kini, nama-nama seperti Ismail, Eliyahu, atau Gabriel masih membawa akar kata il/el itu — yang artinya Tuhan.

Namun entah sejak kapan, kita lebih sibuk memperdebatkan bentuk doa ketimbang maknanya. Kita lupa bahwa penyebutan Tuhan selalu lahir dari lidah manusia, sementara makna sejatinya selalu berada di atas bahasa. Mungkin Tuhan tidak peduli apakah kita menyebut-Nya Allah, El, Elohim, Adonai, atau Tuhan, karena yang Ia dengar adalah niat di balik sebutan itu.

Dalam refleksi saya, sejarah ini tidak sekadar pelajaran antropologi, tetapi juga pengingat bahwa iman seharusnya membuat kita rendah hati, bukan tinggi hati. Bahwa asal-usul bangsa Arab dan Yahudi mengajarkan kita: tidak ada keyakinan yang berdiri sendirian, semuanya saling berkelindan dalam satu rumpun kasih yang sama.

Jadi, ketika seseorang berkata bahwa “Tuhan kita berbeda,” mungkin yang berbeda hanya cara kita mengucapkannya. Karena di langit sana, Tuhan tetap satu, dan Ia tidak perlu diterjemahkan.

author avatar
Rully Syumanda
Arsitek, Penggiat Lingkungan dan Ayah dari tiga orang putri. Tidak terlalu relijius namun selalu berusaha berbuat baik dan percaya bahwa gagasan besar sering lahir dari percakapan kecil. Melalui laman ini, saya ingin berbagi cara pandang — bukan untuk menggurui, tapi untuk membuka ruang dialog. Tentang iman yang membumi, demokrasi yang manusiawi, dan kemakmuran yang tidak meninggalkan siapa pun.
Verified by MonsterInsights