Dulu, sebelum gw mengenal kata “resmi”, agama di negeri ini lebih seperti napas yang menyatu dengan tanah, hutan, sungai, dan langit. Tapi hari ini, agama lokal Indonesia seperti cerita yang ditulis samar—nyaris hilang dari naskah besar bernama republik. Mereka tak lagi diakui, tak lagi diajarkan, bahkan tak lagi diingat.

Padahal, kalau kita bicara soal “agama”, seharusnya ini tentang jalan manusia untuk berhubungan dengan yang gaib, bukan sekadar soal status hukum.
Nabi-nabi yang diutus Tuhan di berbagai zaman membawa pedoman untuk bangsanya sendiri — dari Nuh, Musa, Isa, hingga Muhammad — semuanya berbicara dengan bahasa dan budaya tempat mereka lahir. Maka, ketika Islam lahir di Arab, itu bukan soal kebetulan, tapi karena di sanalah titik kosong kemanusiaan yang menunggu wahyu turun.
Pertanyaannya sekarang: jika Tuhan menurunkan risalah sesuai zamannya dan bangsanya, apakah mungkin tanah Indonesia pun pernah punya wahyu yang serupa—yang kita sebut hari ini sebagai agama lokal Indonesia?
Dipunahkan oleh Politik, Dilenyapkan oleh Administrasi
Kisah pilu agama-agama lokal bukan dimulai dari perdebatan teologis, tapi dari keputusan birokrasi. Sejak SK Menteri Dalam Negeri tahun 1974 mewajibkan kolom agama di KTP diisi hanya dengan lima pilihan — Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha — ribuan penganut keyakinan lokal dipaksa menanggalkan imannya di depan negara.
Gw masih bisa membayangkan warga desa di Cepu yang dulu memeluk Kejawen. Mereka dipaksa memilih agama resmi agar tak dicap komunis. Banyak yang berpindah ke Kristen, sebagian ke Islam. Tapi di hati kecil mereka, Kejawen tak pernah padam — hanya sembunyi di balik rasa takut.
Begitu juga dengan Sunda Wiwitan di Jawa Barat, atau Parmalim di Tanah Batak. Mereka yang dulu hidup berdampingan dengan alam, kini hidup berdampingan dengan rasa kehilangan. Ironisnya, semua ini terjadi di negeri yang mengaku berlandaskan Ketuhanan.
Agama lokal Indonesia seperti ditulis kecil di pinggir sejarah, seolah tak pernah punya wahyu, tak pernah punya Tuhan.
Kenapa Agama Lahir di Arab, dan Mati di Sini?
Saya sering berpikir, kenapa agama besar justru lahir di padang pasir yang kering dan keras, sementara negeri ini yang subur dan basah justru kehilangan akarnya? Mungkin karena di Arab, kelangkaan membuat manusia menatap langit; di Indonesia, kelimpahan membuat manusia lupa menengadah.
Di Mekkah, agama lahir dari kehampaan spiritual yang menunggu wahyu. Di Nusantara, spiritualitas sudah lama hidup — tapi pelan-pelan dilenyapkan oleh politik, modernitas, dan rasa minder terhadap warisan sendiri. Kita lebih mudah percaya pada Tuhan yang datang dari jauh, daripada mendengar bisik suci dari tanah tempat kita berpijak.
Padahal, tak ada jaminan bahwa Tuhan hanya bicara dalam bahasa Arab, Sansekerta, atau Ibrani. Mungkin Dia juga pernah berbicara dalam bahasa Batak, Sunda, Dayak, atau Jawa — tapi kita menutup telinga sebelum sempat mendengarnya.
Agama Lokal Indonesia: Antara Keyakinan dan Statistik
Hari ini, statistik mencatat 87 persen penduduk Indonesia beragama Islam. Tapi di balik angka itu, ada yang hilang: ratusan keyakinan lama yang dulu jadi urat nadi budaya. Agama lokal Indonesia seperti Kaharingan, Sunda Wiwitan, Marapu, Aluk Todolo, Mulajadi Nabolon, dan Wetu Telu, perlahan tenggelam — bukan karena kalah iman, tapi karena kalah akses, kalah narasi, dan kalah pengakuan.
Gw nggak sedang bicara soal kebangkitan agama kuno, tapi soal kejujuran sejarah. Negara ini bukan hanya dibangun oleh umat beragama, tapi juga oleh para penganut kepercayaan yang menjaga roh hutan, sungai, dan leluhur. Mereka adalah penjaga moral ekologis bangsa — jauh sebelum istilah “konservasi” dan “sustainability” jadi tren seminar kampus.
Mungkin, kalau kita mau jujur, mereka lebih Islami dalam makna sejatinya: tunduk pada alam, hormat pada pencipta, dan hidup dalam keseimbangan.
Kita yang Melupakan, Bukan Mereka yang Hilang
Saya percaya, agama lokal Indonesia tak benar-benar punah. Mereka hanya menunggu dipanggil kembali dari ingatan kolektif bangsa. Di balik setiap upacara adat, doa nenek di dapur, atau bisikan di tepi hutan, selalu ada gema keyakinan lama yang menolak mati.
Pertanyaannya: berapa lama lagi kita akan terus berpura-pura bahwa enam agama resmi sudah cukup menggambarkan keimanan bangsa yang begitu luas ini?
Mungkin, saat kita berhenti mengukur iman dari kolom KTP, dan mulai mendengar doa dari akar rumput, kita akan sadar — Tuhan tak pernah monopoli satu bangsa. Yang memusnahkan agama lokal Indonesia bukan waktu, tapi kita sendiri, karena memilih untuk lupa.




 
			







Leave a Review