Mereka yang Membunuh Tuhan bukanlah mereka yang menolak keberadaan-Nya, tapi mereka yang mengubah cinta menjadi ancaman, dan kasih menjadi ketakutan. Seperti kisah sufi agung Rabiah Al-Adawiyah di abad ke-8 Masehi, yang suatu hari berlari-lari di kota Baghdad dengan obor di tangan dan seember air di tangan lainnya. Orang-orang heran dan bertanya, “Wahai Rabiah, apa yang kau cari dengan obor di siang hari dan air di tanganmu?”
Rabiah menjawab dengan tenang:
“Aku ingin membakar surga dengan obor ini, dan memadamkan api neraka dengan air ini, agar manusia beribadah hanya karena cinta kepada Allah — bukan karena takut atau mengharap imbalan.”
Di masa itu, dan bahkan hingga kini, banyak orang membunuh Tuhan dengan cara yang paling halus: menjadikan iman sebagai kontrak rasa takut, bukan perjumpaan kasih.
Mereka yang membunuh Tuhan – Iman yang Tak Lagi Membebaskan
Dalam keseharian kita, iman sering dipahami sebagai kewajiban penuh ancaman. Surga dan neraka dijadikan alat kendali moral — bukan ruang spiritualitas. Kita diajarkan untuk takut: takut pada dosa, takut pada murka, takut pada Tuhan. Tapi jarang diajarkan untuk mencintai-Nya tanpa pamrih.
Rabiah melihat ketakutan itu sebagai kemunafikan yang suci: ibadah dilakukan demi selamat, bukan demi cinta. Dalam iman semacam ini, kebaikan berubah jadi kalkulasi, bukan ketulusan. Maka, yang hilang bukanlah ritual, tapi jiwa di baliknya. Dan di situlah letak ironi Mereka yang Membunuh Tuhan — mereka beribadah kepada-Nya, tapi membunuh makna kasih yang menjadi inti keberadaan-Nya.
Surga dan Neraka yang Dijual di Pasar
Sekarang, surga dan neraka bahkan bisa dikemas jadi produk. Dari mimbar ke media sosial, dari seminar spiritual ke baliho amal, semuanya menjual dua hal: rasa takut dan harapan.
Dan kita, tanpa sadar, menjadi konsumen paling setia.
Seandainya Rabiah hidup di zaman ini, mungkin ia akan menyalakan obor lebih besar lagi — bukan untuk membakar surga, tapi untuk membakar retorika yang memperdagangkan Tuhan. Ia akan menumpahkan air bukan ke neraka, tapi ke amarah yang mengklaim diri suci.
Karena iman tanpa cinta hanya menghasilkan kebencian yang berseragam doa.
Beriman Tanpa Rasa Takut
Mungkinkah beriman tanpa rasa takut? Bisa. Tapi itu menuntut keberanian besar untuk menanggalkan pamrih. Mereka yang Membunuh Tuhan bukan hanya para penentang agama, melainkan juga mereka yang beribadah tanpa cinta — yang menjadikan Tuhan sekadar penjaga gerbang surga.
Beriman tanpa takut bukan berarti menolak surga dan neraka, melainkan menempatkannya pada tempat yang benar: sebagai akibat, bukan tujuan.
Cinta yang tulus tidak butuh imbalan, dan iman sejati tidak bergantung pada ancaman.
Seperti doa Rabiah yang paling indah itu:
“Tuhanku, jika aku menyembah-Mu karena takut neraka, bakarlah aku di dalamnya. Jika aku menyembah-Mu karena mengharap surga, jauhkan aku darinya. Tapi jika aku menyembah-Mu karena cinta pada-Mu, maka jangan jauhkan aku dari-Mu.”
Mungkin, begitulah Tuhan yang hidup — bukan Tuhan yang dibunuh oleh rasa takut, tapi Tuhan yang dihidupkan kembali oleh cinta.




 
			








Leave a Review