Ucapan Assalammu’allaikum

Ucapan Assalammu’allaikum selalu terdengar akrab di telinga, seakan menjadi tanda khas umat Islam. Tapi pernahkah kita berhenti sejenak dan bertanya, siapa sebenarnya pemilik ucapan itu? Benarkah ucapan Assalammu’allaikum adalah milik eksklusif satu agama?

Sebagian orang di negeri ini masih berpikir bahwa jika seorang non-muslim memberikan ccapan Assalammu’allaikum, maka kewajiban untuk menjawabnya gugur. Seolah-olah ada pagar tak terlihat yang memisahkan siapa yang boleh memberi dan siapa yang pantas menerima doa keselamatan. Padahal, jika kita jujur, ucapan Assalammu’allaikum berarti satu hal yang sangat universal: “Semoga kedamaian menyertaimu.” Siapa pun pasti berhak atas doa seperti itu.

Riwayat-riwayat klasik justru menceritakan hal yang lebih menarik. Dalam salah satu hadis, disebut bahwa ucapan Assalammu’allaikum pertama diucapkan oleh Nabi Adam ketika bertemu malaikat: “Assalammu’allaikum,” dan dijawab, “Wa rahmatullah.” Artinya, salam ini bukan muncul dari identitas mazhab atau kelompok, tapi dari perintah Tuhan kepada manusia pertama. Dengan kata lain, ia adalah kalimat kemanusiaan sebelum menjadi simbol keagamaan.

Bahkan jauh sebelum fajar Islam datang, ucapan serupa sudah hidup di jazirah Arab. Kaum Nasrani di sana menggunakan salam perdamaian, kaum Ibrani menyebutnya shalom aleichem, sementara sebagian kabilah Arab mengucapkan hayakallah. Semuanya punya makna yang sama: doa keselamatan bagi orang lain. Jadi, ketika seorang non-muslim mengucapkan “Assalammu’allaikum,” sebenarnya ia sedang mengucapkan doa yang sama yang pernah diucapkan Adam—bukan sedang mencuri identitas siapa pun.

Lucunya, sebagian dari kita malah lebih senang mempersoalkan hak pakai salam daripada memelihara maknanya. Seolah kedamaian itu punya label merek dagang yang bisa digugat kalau diucapkan tanpa izin. Padahal, kalau Tuhan tidak memberi hak cipta pada kasih, siapa kita sampai ingin memilikinya?

Belajar Menjadi Islam

Sering kali, kita terlalu sibuk menjaga simbol, sampai lupa memelihara makna. Kita mengaku sedang membela agama, padahal yang kita bela hanyalah ego yang takut berbeda. Ketika seseorang memberikan Ucapan Assalammu’allaikum dengan tulus, doa itu tidak berubah menjadi dosa hanya karena yang mengucapkannya berbeda keyakinan.

Bukankah tujuan salam adalah menyebarkan damai, bukan memeriksa kartu anggota? Ironis kalau kita menolak menjawab salam dengan alasan “itu bukan untuk kita,” sementara maknanya justru mendoakan keselamatan bagi diri kita sendiri. Di titik ini, kita perlu berhenti sejenak dan bertanya: apakah kita sedang menjadi Islam, atau hanya sedang mengakuinya di identitas?

Dalam makna terdalamnya, menjadi Islam berarti tunduk kepada kedamaian, bukan kepada kebencian. Nabi tidak pernah mengajarkan untuk menolak doa kebaikan, apalagi jika doa itu lahir dari ketulusan. Menjawab salam bukan urusan siapa yang lebih benar, tapi siapa yang lebih beradab.

Mungkin, jawaban terbaik terhadap salam lintas iman bukan sekadar “Wa’alaikum salam,” tapi juga senyum yang tulus. Karena di dunia yang makin gaduh, sekadar membalas damai saja sudah menjadi bentuk ibadah.

Kalau masih keras kepala menolak menjawab salam dari mereka yang berbeda, mungkin kita perlu belajar lagi arti menjadi Islam, bukan hanya beragama Islam. Karena ucapan Assalammu’allaikum bukan monopoli siapa-siapa; ia adalah bahasa universal yang diwariskan sejak Adam—doa yang menyeberangi batas manusia, waktu, dan keyakinan.

Setuju, ragu, atau beda sama sekali? Ayo cerita di komentar; kita ngobrol pelan-pelan.

author avatar
Rully Syumanda
Arsitek, Penggiat Lingkungan dan Ayah dari tiga orang putri. Tidak terlalu relijius namun selalu berusaha berbuat baik dan percaya bahwa gagasan besar sering lahir dari percakapan kecil. Melalui laman ini, saya ingin berbagi cara pandang — bukan untuk menggurui, tapi untuk membuka ruang dialog. Tentang iman yang membumi, demokrasi yang manusiawi, dan kemakmuran yang tidak meninggalkan siapa pun.
Verified by MonsterInsights