Ketika Perbedaan Ulama dalam Islam Hilang dari Akal Kita

Saya sering berpikir, bagaimana mungkin perbedaan ulama dalam Islam yang dulu menjadi sumber cahaya kini justru berubah jadi sumber gelap di kepala kita. Para imam besar pernah berdebat habis-habisan tentang hukum, tafsir, dan akidah, tapi mereka tetap saling mengagumi. Sekarang, kita yang tidak hafal satu pun kitab mereka, malah sibuk memaki sesama hanya karena mengikuti ustaz yang berbeda. Ironis, bukan?

Kita hidup di masa ketika perbedaan bukan lagi ruang untuk belajar, tapi medan untuk membakar ego. Seolah surga hanya milik kelompok yang paling keras suaranya. Padahal, kalau saja kita mau menengok sejarah sedikit saja, kita akan tahu: para ulama dulu saling menghormati bahkan di puncak perbedaan pendapatnya.

Saat Perbedaan Menjadi Dosa

Lucu, tapi juga menyedihkan, bagaimana sebagian umat Islam kini memperlakukan perbedaan seperti penyakit menular. Begitu mendengar nama tokoh yang berbeda mazhab, langsung menutup telinga, lalu berkata: “Itu sesat.”

Saya sering melihat di media sosial — satu potongan video ceramah diunggah, lalu ribuan komentar datang seperti pasukan tempur. Tidak ada niat memahami, hanya mencari siapa yang bisa dijatuhkan. Kita seolah menikmati drama perdebatan antar Ustaz, bukan untuk belajar, tapi untuk membenarkan kebencian yang sudah lebih dulu kita pelihara.

Padahal, Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i, dan Imam Ahmad bin Hanbal — empat imam besar yang jadi rujukan seluruh dunia Islam — punya perbedaan yang sangat tajam. Tapi tidak pernah saling menyesatkan. Imam Syafi’i pernah berkata, “Pendapatku benar tapi mungkin salah, pendapatmu salah tapi mungkin benar.” Kalimat sesederhana itu kini terdengar seperti bahasa dari planet lain.

Kita kehilangan akal sehat dalam beragama. Padahal, dulu perbedaan justru melahirkan keluasan pandangan, memperkaya pemahaman, bukan menyempitkan.

Belajar dari Perbedaan Ulama dalam Islam

Kata kunci ini sebenarnya sederhana, tapi berisi sejarah panjang: perbedaan ulama dalam Islam. Dulu, para ulama besar memegang prinsip bahwa ilmu tidak dimonopoli. Mereka tahu, tidak ada manusia yang bisa menguasai seluruh hikmah Tuhan. Karena itu, perbedaan bukan ancaman, tapi tanda hidupnya ilmu.

Imam Malik pernah berkata, “Aku hanyalah manusia. Bisa benar, bisa salah. Maka periksalah pendapatku; jika sesuai dengan Al-Qur’an dan Sunnah, ambillah. Jika tidak, tinggalkan.” Coba bayangkan, seorang ulama besar seperti beliau saja tidak ingin disakralkan. Sekarang? Kita bahkan menyakralkan pendapat ustaz favorit yang baru viral seminggu lalu.

Ada yang aneh pada kita. Kita menyebut diri sebagai umat yang mengikuti para ulama, tapi tidak meniru adab mereka. Kita hanya meniru cara berpakaian, tapi lupa meniru cara berpikir. Kita mengutip hadis, tapi gagal memahami konteks sosial dan niat di baliknya.

Zaman para imam dulu, ilmu dicari lewat perjalanan panjang dan perdebatan tulus. Sekarang, cukup buka YouTube dan pilih siapa yang paling cocok dengan selera kita. Begitu ketemu yang sejalan, semua yang lain langsung salah.

Kembali ke Ruh Ilmu dan Keberanian Bertanya

Saya percaya, agama tidak akan tumbuh dari ketakutan, tapi dari keberanian untuk mencari. Keberanian untuk bertanya, bahkan pada hal yang tidak disukai mayoritas. Karena, tanpa itu, iman akan berhenti jadi dogma yang membeku.

Kita terlalu sering menjadikan agama sebagai alat identitas, bukan sebagai jalan menemukan kebenaran. Padahal, Islam pertama kali tumbuh dari keberanian orang-orang yang mau berpikir berbeda di tengah masyarakat yang kaku. Rasulullah sendiri membawa ajaran yang melawan arus budaya, bukan mengikutinya.

Mungkin sudah saatnya kita meniru kembali ruh para ulama terdahulu: rendah hati, ilmiah, dan beradab. Mereka bisa berdebat berjam-jam, tapi tetap makan bersama. Mereka bisa berbeda tajam, tapi tetap saling memuliakan. Tidak ada yang sibuk menuding “bid’ah” hanya karena cara wudu sedikit berbeda.

Jika kita ingin Islam tetap hidup di masa depan, kita harus berani berpikir seperti mereka: terbuka, tulus, dan beradab. Bukan seperti kita sekarang — yang sibuk berdebat tanpa ilmu, dan menganggap paling benar hanya karena paling banyak pengikut.

Perbedaan itu tidak akan pernah hilang. Tapi yang bisa hilang adalah akal sehat dan kasih sayang di antara kita. Dan ketika itu terjadi, kita bukan lagi umat yang berilmu, tapi sekadar kumpulan yang berisik.

Di akhir semua ini, saya hanya ingin mengingatkan satu hal: perbedaan ulama dalam Islam bukan alasan untuk bercerai-berai, tapi undangan untuk berpikir lebih dalam. Karena ilmu tanpa adab hanya melahirkan arogansi, dan agama tanpa akal hanya menyisakan kebencian.

author avatar
Rully Syumanda
Arsitek, Penggiat Lingkungan dan Ayah dari tiga orang putri. Tidak terlalu relijius namun selalu berusaha berbuat baik dan percaya bahwa gagasan besar sering lahir dari percakapan kecil. Melalui laman ini, saya ingin berbagi cara pandang — bukan untuk menggurui, tapi untuk membuka ruang dialog. Tentang iman yang membumi, demokrasi yang manusiawi, dan kemakmuran yang tidak meninggalkan siapa pun.
Verified by MonsterInsights