Kita sering mendengar adanya Hadits shahih dan beranggapan bila hal tersebut ada;lah suatu yang baku dan tidak bsia dibantah. Keshahihan sebuah hadits shahih ini memang banyak membuat orang terkecoh, karena kurang mengerti dan belum memahami apa yang dimaksud dengan hadits shahih.
Banyak lagi yang beranggapan bahwa keshahihan suatu hadits adalah wahyu yang turun dari langit. Orang beranggapan bahwa keshahihan hadits merupakan wangsit khusus yang diberikan Allah kepada orang-orang tertentu.
Sebenanrnya, keshahihan hadits itu 100% merupakan penilaian subjektif dari seorang peneliti hadits lewat analisa logis tapi tetap tidak bisa lepas dari subjektifitasnya sendiri. Karena sekedar ijtihad, maka apa yang dibilang shahih oleh seorang peneliti hadits, bisa saja disanggah dan ditolak oleh peneliti lain, bahkan bisa dikeluarkan hasil ijtihad lainnya yang justru bertentangan.
Baca Juga : Baiklah Amerika
Imam Bukhari Berijtihad
Semua yang dituangkan Al-Bukhari (194-265 H) di dalam kitab Shahihnya adalah hasil ijtihad beliau. Bukan wahyu dari Allah. Beliau melakukan penelitian atas tiap-tiap perawi dengan mengadakan perjalanan panjang dan jauh menelusuri berbagai pelosok negeri Islam. Seratus persen keshahihan hadits Bukhari itu dihasilkan lewat ijtihad.
Tentunya statemen ini bukan untuk melemahkan usaha beliau. Hanya penekanannya disini adalah bahwa produk dari beliau murni jhasil ijtihad, yang bisa dibantah oleh yang lain.
Shalawat Tarhim, Pujian Yang Menemani Kita Beranjak Dewasa
Begitu juga hadits yang tertuang dalam kitab Shahih Muslim. Imam Muslim (204-261 H) sebagai penyusunnya tidak lain adalah seorang yang melakukan ijtihad, dalam arti penellitian ilmiyah untuk memilah mana yang beliau anggap shahih dan tidak. Pertimbangannya tanpa didasari wahyu dari langit. Hanya mengandalkan penilaian manusiawi semata.
Menjadi keliru bila kemudian kita mengandalakna keshahihan hadits Bukhari dan Muslim sebagai satu-satunya rujukan dalam masalah agama. Mengapa? Karena selain hasil ijtihad keduanya, masih ada ribuan peneliti dan ahli hadits lain yang juga melakukan penelitian. Dan tidak sedikit yang kualitasnya malah lebih tinggi dari apa yang diijtihadkan oleh keduanya.
Penelitian Hadits Sebelum Zaman Bukhari dan Muslim
Imam Bukhari dan Imam Muslim termasuk ulama yang hidup di abad ketiga hijriyah. Keberadaan dua kitab Shahih, yaitu baru muncul di abad ketiga, atau setelah 200 tahun Rasulullah SAW wafat. Yang jadi pertanyaan adalah : Lalu umat Islam yang hidup di abad pertama dan kedua, sebelum Bukhari dan Muslim lahir, menggunakan hadits apa dalam beragama?
Jawabnya mereka menggunakan semua hadits nabi juga. Tentunya bukan hadits-hadits yang dishahihkan oleh Bukhari atau Muslim, sebab Bukhari dan Muslim belum lahir. Dan hadits-hadits di masa itu juga sudah diteliti dengan baik oleh para ahli hadits di zamannya.
Sebutlah misalnya Imam Malik rahimahullah yang menyusun kitab Al-Muwaththa’. Di zamannya, kitab Al-Muwaththa’ ini merupakan kitab hadits unggulan. Bahkan Al-Imam Asy-Syafi’i yang ingin belajar hadits kepada Imam Malik menghafal hadits-hadits di dalamnya.
Jadi jangan beranggapan bahwa hadits shahih itu hanya hadits Bukhari dan Muslim saja. Tidak ada satu pun shahabat nabi yang menggunakan hadits shahih riwayat Bukhari. Dan tidak satupun tabi’in yang menggunakannya juga. Mereka semua beragama tanpa menggunakan Shahih Bukhari dan Sahih Muslim.
Penelitian Hadits Oleh Empat Imam Mazhab
Para imam mazhab yang empat, Abu Hanifah, Malik, Asy-Syafi’i dan Ahmad bin Hanbal, sama sekali tidak pernah menggunakan hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim. Mereka sama sekali tidak pernah menyentuh kitab Shahih Bukhari dan Muslim. Kenapa?
Pertama, karena mereka lahir jauh sebelum Bukhari (194-265 H) dan Muslim (204-261 H) dilahirkan.
Kedua, karena keempat imam mazhab itu sendiri justru merupakan pakar hadits paling top di zamannya. Tidak ada ahli hadits yang lebih baik dari mereka di zamannya.
Ketiga, karena keempat imam mazhab itu hidup di zaman yang secara zaman lebih dekat ke Rasulullah SAW dari pada masa Bukhari atau Muslim sendiri.
Kalau dalam bidang teknologi, memang semakin maju zamannya ke depan, ilmunya semakin lengkap dan sempurna. Karena penemuan yang dulu kemudian disempurnakan dengan penemuan terbaru. Sebaliknya, dalam bidang penelitian hadits, semakin mundur dan mendekati sumber aslinya, akan semakin baik.
Dan semakin menjauhi zaman aslinya tentu akan semakin lemah hasil penelitiannya. Tidak akan ada lagi penemuan baru macam teknologi komputer dalam ilmu hadits. Karena yang dilakukan adalah penelitian keshahihan hadits dan bukan kesempurnaan produk pabrik.
Keempat, justru Bukhari dan Muslim sendiri malah bermazhab kepada para imam mazhab yang empat itu. Banyak kajian ilmiyah yang memastikan bahwa Bukhari sendiri dalam fiqihnya bermazhab Syafi’i.
Memang ada sementara tokoh saking antipatinya dengan mazhab fiqih, lalu mengarang-ngarang sebuah nama mazhab imaginer baru yang tidak pernah ada bukti kongkritnya dalam sejarah. Mereka sebut mazhab ‘ahli hadits’. Dari namanya saja sudah bermasalah. Dikesankan seolah-olah yang tidak bermazhab ahli hadits berarti tidak menggunakan hadits dalam mazhabnya. Padahal mazhab ahli hadits itu adalah mazhab para ulama peneliti hadits untuk mengetahui keshahihan hadits dan bukan dalam menarik kesimpulan hukum (istimbath).
Kalaulah benar pernah ada mazhab ahli hadits yang berfungsi sebagai metodologi istimbath hukum, lalu mana ushul fiqihnya? Mana kaidah-kaidah yang digunakan dalam mengistimbath hukum? Apakah cuma sekedar menggunakan sistem gugur, bila ada dua hadits, yang satu kalah shahih dengan yang lain, maka yang kalah dibuang?
Lalu bagimana kalau ada hadits sama-sama dishahihkan oleh Bukhari dan Muslim, tetapi isinya bertentangan dan bertabrakan tidak bisa dipertemukan?
Al-Imam Asy-syafi’i sejak 13 abad yang lalu sudah bicara panjang lebar tentang masalah kalau ada beberapa hadits sama-sama shahihnya tetapi matannya saling bertentangan, apa yang harus kita lakukan? Beliau sudah menulis kaidah itu dalam kitabnya : Ikhtilaful Hadits yang fenomenal itu.
Plintiran Informasi Untuk Umat Yang Awam
Banyak informasi yang sengaja diplintir oleh orang yang dengki. Seolah-olah imam mazhab yang empat itu kerjaannya cuma merusak agama dengan mengarang-ngarang agama dan menambah-nambahinya seenak udelnya. Sejelek itulah fitnah yang diberikan kepada para ulama.
Padahal keempat imam mazhab itu di zamannya justru merupakan para ulama peneliti hadits (muhaddits). Sampai kemudian datang para penyesat yang dengan mudahnya dan lancang menuduh keempat imam mazhab itu sebagai orang-orang bodoh dengan ilmu hadits.
Hadits shahih versi Bukhari dibanding-bandingkan secara zahir dengan pendapat keempat mazhab, seolah-olah pendapat mazhab itu buatan manusia dan hadits shahih versi Bukhari itu datang dari Allah yang sudah pasti benar.
Orang-orang awam yang kurang ilmu itu dengan seenaknya menyelewengkan ungkapan para imam mazhab itu dari maksud aslinya : “Bila suatu hadits itu shahih, maka itulah mazhabku”. Kesannya, para imam mazhab itu bodoh dengan keshahihan hadits, lalu menggantungkan mazhabnya kepada orang-orang yang hidup dua tiga abad sesudahnya.
Cara penyesatan dan merusak Islam dari dalam degan modus seperti ini ternyata nyaris berhasil. Coba perhatikan persepsi orang-orang awam di tengah kita. Rata-rata mereka benci dengan keempat imam mazhab, karena dikesankan sebagai orang bodoh dalam hadits dan kerjaanya cuma menambah-nambahi agama.
Parahnya, setiap ada tradisi dan budaya yang sesat masuk ke dalam tubuh umat Islam, seperti percaya dukun, tahayyul, khurafat, jimat, dan berbagai aqidah sesat, sering diidentikkan dengan ajaran mazhab. Seolah mazhab fiqih itu gudangnya kesesatan dan haram kita bertaqlid kepada ulama mazhab.
Bukhari dan Muslim Bukan Penentu Satu-satunya Keshahihan Hadits
Ini perlu dicatat karena penting sekali. Shahih tidaknya suatu hadits, bukan ditentukan oleh Bukhari dan Muslim saja. Jauh sebelum keduanya dilahirkan ke dunia, sudah ada jutaan ahli ahli hadits yang menjalankan proses ijtihad dalam menetapkan keshahihan hadits.
Dan boleh jadi kualitasnya jauh lebih baik. Kualitas keshahihannya jauh lebih murni. Hal itu karena jarak waktu dengan sumber aslinya, yaitu Rasulullah SAW, lebih dekat.
Hadits di zaman Imam Bukhari sudah cukup panjang jalur periwayatannya. Untuk satu hadits yang sama, jalur periwayatan Bukhari bisa sampai enam atau tujuh level perawi yang bersambung-sambung. Sementara jalur hadits Imam Malik cuma melewati tiga level perawi. Secara logika sederhana, kualitas keasliannya tentu berbeda antara hadits yang jalurnya tujuh level dengan yang tiga level. Lebih murni dan asli yang tiga level tentunya.
Bayangkan kalau Imam Bukhari hidup hari ini di abad 15 hijriyah, haditsnya bisa melewati 40-50 level perawi. Secara nalar kita bisa dengan mudah menebak bahwa kualitas periwayatannya jauh lebih rendah. Beda tiga sampai empat level saja sudah besar pengaruhnya, apalagi beda 50 level, tentu jauh lebih rendah.
Menurunnya Kualitas Periwayatan Seiring Dengan Semakin Jauhnya Jarak
Semakin jauh jarak waktu antara sumber hadits dengan zaman penelitiannya, maka kualitasnya akan semakin menurun. Sebab jalur periwayatannya akan menjadi semakin panjang. Jumlah perawi yang harus diteliti jelas lebih banyak lagi.
Seandainya seorang dengan kualitas Imam Bukhari hidup di abad kelima, tentu nilai kualitas penelitiannya akan jauh lebih rendah dibandingkan beliau hidup di abad ketiga. Dan bila beliau hidup di abad kelima belas, sudah bisa dipastikan kualitas penelitiannya akan jauh lebih rendah, bahkan beliau malah tidak bisa melakukan apa-apa.
Karena tidak mugkin lagi melakukan penelitian langsung bertemu muka dengan para perawi. Maka keistimewaan hadits Bukhari akan anjlog total. Untungnya beliau hidup di zaman yang tepat, yaitu di masa para perawi masih hidup dan bisa diwawancarai langsung.
Anehnya, jarang sekali umat Islam yang bisa membedakan, mana kualitas penelitian kelas tinggi dan mana kelas rendahan. Sebab sekarang ini kita hidup di zaman serba awam dan serba tidak tahu.
Kadang-kadang umat Islam terkecoh dengan mudah dengan penampilan fisik. Asalkan ada orang pintar ceramah, kebetulan jenggotnya panjang, bajunya gamis ala arab, pakai surban melilit kepala, tangannya sibuk memutar-mutar biji tasbih, suaranya diberat-beratkan, langsung kita anggap dia adalah ulama yang tahu segala-galanya. Padahal satu pun hadits tidak dihafalnya.
Semoga Allah SWT mengampuni kita semua. Amiin ya rabbal alamin
Wallahu a’lam bishshawab, wassalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Ahmad Sarwat, Lc., MA
Leave a Reply