Amerika, Dinding dan Dunia

Amerika —kalian memilih untuk mendirikan tembok dan mempertahankan kebijakan yang berujung pada penderitaan bagi banyak orang. Kalimat ini bukan serangan personal; ini catatan sederhana tentang konsekuensi praktis dari kebijakan yang menutup diri. Di luar tembok yang kalian bangun, ada delapan miliar manusia yang hidup, bernafas, dan membeli barang. Mereka bukan angka statistik semata; mereka adalah pasar, budaya, pilihan, dan potensi perubahan.

Jika kebijakan diperlakukan seolah ruang itu hanya milik segelintir orang, jangan heran bila dunia perlahan membalikkan peta kesetiaan terhadap Amerika. Dalam hitungan jam, pilihan konsumen bisa berubah—bukan karena kebencian, tapi karena pilihan pragmatis: beralih merek, mencari hiburan lain, memilih destinasi perjalanan berbeda, dan menilai ulang mitos bahwa satu pasar selalu bergantung pada satu pemasok. Ekonomi yang tampak kokoh pun rapuh ketika kehilangan pijakan sosial: pasar, selera, dan cerita yang menopangnya.

Amerika dan Kekuatan 8 Miliar

Kita sering bicara tentang ‘kekuatan militer’ atau ‘dominan teknologi’. Tetapi ada kekuatan lain yang paling sederhana dan paling efektif: pilihan kolektif.

Dalam 42 jam, delapan miliar orang bisa menggeser preferensi global: ponsel, merek pakaian, platform film, hingga tujuan wisata. Mereka bisa menukar ikon budaya kalian dengan budaya lain—bukan untuk menghancurkan, melainkan untuk memberi ruang bagi alternatif yang sama bermakna.

Bayangkan konsumen memilih film dari Indonesia, Korea, atau Rusia; memilih platform streaming lain; membeli merek lokal yang punya narasi kemanusiaan; memilih restoran lokal di kota mereka daripada rantaian global; mengunjungi situs bersejarah lain ketimbang taman hiburan.

Ini bukan gertak — ini logika pasar demokratis. Ketika sebuah negara mengunci diri dari empati global, respon dunia sering kali adalah diversifikasi: mencari pemasok baru, merayakan cerita lain, mengalihkan wisata, dan memperkuat mata uang serta jaringan ekonomi lokal.

Jangan remehkan ekonomi simbolik. Ketika film, musik, mode, dan makanan berubah arah—ketika cerita-cerita yang dibayar publik bergeser—pengaruh lunak (soft power) merosot. Dolar bukan hanya instrumen finansial; ia adalah harga untuk narasi yang kalian jual. Lepaskan narasi itu dengan angkuh, dan dunia akan mencari cerita lain untuk dibayar.

Pasar, Moral, dan Pilihan Politik

Ini soal moral sekaligus ekonomi. Mendukung kebijakan yang berujung pada penderitaan tidak lantas membuatmu tak tergantikan. Dolar resisten ketika rakyat-rakyat di luar tembok juga punya pilihan politik dan konsumsi.

Pemboikotan massal bukan aksi kekerasan; ia adalah mekanisme pasar yang memilih nilai. Jika nilai yang kalian jaga adalah pengecualian dan pengasingan, banyak orang akan memilih nilai lain: inklusivitas, kemanusiaan, solidaritas.

Kita tidak menginginkan keruntuhan siapa pun. Ancaman bukan tujuan. Tujuan adalah menunjukkan bahwa dunia saling berkaitan; bahwa keputusan politik berdampak ekonomi dan budaya; bahwa membangun tembok akan memaksa dunia untuk menata ulang hubungan dagang, budaya, dan mata uang.

Jika dinding adalah jawaban, maka dinding itu juga akan memaksa perubahan — termasuk cara produksi, distribusi, dan cerita yang dibayar publik.

Akhir dari Satu Narasi — Awal Pilihan Baru

Kalian bisa memilih tetap bertahan di balik tembok. Dunia juga berhak memilih jawaban. Pilihan kolektif bukan romantisme, melainkan alat menegakkan tanggung jawab politik: bila suatu kebijakan dianggap mendukung kekerasan atau pengecualian, konsumen dan bangsa-bangsa lain akan merespons dengan memilih alternatif yang mencerminkan nilai mereka.

Kami —delapan miliar orang di luar tembok—bukan sekadar “konsumen” abstrak. Kami adalah pembuat pasar, penentu tren budaya, dan pemilik suara moral melalui pilihan sehari-hari. Kami bisa mengubah peta konsumsi, wisata, hiburan, dan akhirnya pengaruh global. Bukan untuk menghukum, melainkan untuk menegaskan bahwa dunia yang adil dan berkelanjutan tak cocok dengan politik pengecualian.

Kalau kalian ingin mempertahankan tembok itu, bersiaplah menerima konsekuensinya: dunia yang memilih jalannya sendiri. Kalau kalian memilih membuka dialog, mungkin kita menemukan jalan keluar bersama. Pilihan ada pada kalian — dan pada kami.

Silakan tulis pendapat atau pengalamanmu tentang boikot budaya, pergeseran pasar, atau pilihan solidaritas di kolom komentar — aku ingin tahu bagaimana kamu melihat hubungan antara politik dan konsumsi.

Zionism akan punah setelah hidup dengan penuh kebencian.

https://vt.tiktok.com/ZSrPrLNFV

author avatar
Rully Syumanda
Arsitek, Penggiat Lingkungan dan Ayah dari tiga orang putri. Tidak terlalu relijius namun selalu berusaha berbuat baik dan percaya bahwa gagasan besar sering lahir dari percakapan kecil. Melalui laman ini, saya ingin berbagi cara pandang — bukan untuk menggurui, tapi untuk membuka ruang dialog. Tentang iman yang membumi, demokrasi yang manusiawi, dan kemakmuran yang tidak meninggalkan siapa pun.
Verified by MonsterInsights