Ajaran Syekh Siti Jenar dan Jalan Sunyi Lemah Abang

Ajaran Syekh Siti Jenar selalu terasa seperti bisikan lama dari tanah Jawa—tenang, dalam, dan sulit ditangkap dengan logika semata. Ia bukan sekadar guru sufi, tapi suara yang mengingatkan manusia pada asalnya: bahwa kita hanyalah tanah merah yang dihembusi roh Ilahi. Jasad ini hanyalah wadah sementara, sedang yang abadi adalah napas Tuhan yang hidup di dalam diri setiap manusia.

Ajaran Syekh Siti Jenar

Bagi Syekh Siti Jenar, hidup bukan perjalanan menuju Tuhan, melainkan perjalanan pulang kepada-Nya. Sangkan paraning dumadi—dari mana manusia datang, ke mana ia akan kembali. Di titik itu, tubuh menjadi bayangan, dan roh adalah cahaya yang menuntun kita menembus gelapnya kehidupan.

Konsep manunggaling rasa yang ia ajarkan bukan penyatuan fisik, tapi penyatuan kesadaran. Saat ego lenyap, dan rasa menjadi satu dengan yang Mahasuci, di situlah manusia mengenali hakikat ketuhanannya. Ia tidak menjadi Tuhan, tapi menyadari bahwa dirinya berasal dari-Nya. Surga dan neraka, bagi Siti Jenar, bukan tempat, melainkan keadaan batin. Dunia ini adalah neraka bagi jiwa yang merindukan pulang, karena tubuh yang fana menahannya untuk benar-benar bebas.

Kesunyian dan Penerimaan Ajaran Syekh Siti Jenar

Ajaran Syekh Siti Jenar selalu membuat sebagian orang gelisah. Ia terlalu bebas bagi para penguasa, dan terlalu dalam bagi mereka yang hanya ingin kebenaran sederhana. Ia tidak menulis banyak kitab, tak memimpin pesantren besar, tak pula mengejar pengikut. Ia mengajar dengan cara yang paling sepi: melalui hidupnya sendiri.

Bagi sebagian kalangan, kesunyian itu tampak seperti penyimpangan. Di tengah masyarakat yang baru mengenal Islam secara formal, Siti Jenar datang dengan bahasa rasa—tentang cinta, kesadaran, dan Tuhan yang bersemayam di dalam diri. Ia tidak menolak syariat, hanya menolak berhenti di kulitnya. Syariat, baginya, adalah pintu; hakikat adalah ruang di baliknya. Dan banyak orang memilih berhenti di pintu karena takut terhadap cahaya yang terlalu terang.

Di hadapan para wali dan ulama, Siti Jenar dianggap berbahaya karena menghapus jarak antara Tuhan dan manusia. Tapi bagi mereka yang memahami, ia justru sedang mengajarkan makna sejati tauhid: bahwa tiada yang ada selain Dia, bahkan dalam diri manusia yang kecil sekalipun. Di situlah letak keberaniannya—mengajarkan bahwa kehadiran Tuhan bukan di langit, tapi di dada setiap insan yang tenang.

Lemah Abang dan Kesadaran yang Merah

Nama “Lemah Abang” bukan sekadar penanda tempat lahir, tapi lambang pandangan hidup. Lemah berarti tanah, abang berarti merah—simbol tubuh manusia yang berasal dari bumi dan digerakkan oleh darah kehidupan. Dalam pandangan Syekh Lemah Abang, semua manusia berasal dari tanah yang sama, tanpa kasta dan jarak di mata Tuhan.

Ia tidak sedang memberontak terhadap agama, tapi terhadap pengkultusan. Ia menolak konsep suci yang menindas dan menegaskan bahwa kehadiran Tuhan tak mengenal kelas sosial. “Lemah Abang” adalah ajaran untuk kembali rendah hati, menyadari bahwa suci bukanlah gelar, tapi proses mengenali sumber cahaya di dalam diri.

Bagi Syekh Siti Jenar, manunggaling rasa adalah bentuk tertinggi ibadah—saat manusia berhenti memohon dan mulai menyadari bahwa dirinya adalah bagian dari doa itu sendiri. Dunia tidak perlu dibenarkan; yang perlu dibersihkan hanyalah hati yang melihatnya. Di titik itulah, manusia berhenti berdebat tentang Tuhan, dan mulai berjalan bersama-Nya.

Mungkin ajaran Syekh Siti Jenar terasa terlalu sunyi untuk dunia yang bising seperti sekarang. Tapi di sela hiruk-pikuk kehidupan modern, bukankah kita tetap rindu menemukan kembali rasa itu—rasa yang menyatukan manusia dan Tuhan tanpa banyak kata?
Kalau kamu punya tafsir lain tentang jalan sunyi ini, tulislah di kolom komentar. Siapa tahu, di antara kita ada yang diam-diam sedang belajar mendengar suara Tuhan lewat keheningan yang sama.

author avatar
Rully Syumanda
Arsitek, Penggiat Lingkungan dan Ayah dari tiga orang putri. Tidak terlalu relijius namun selalu berusaha berbuat baik dan percaya bahwa gagasan besar sering lahir dari percakapan kecil. Melalui laman ini, saya ingin berbagi cara pandang — bukan untuk menggurui, tapi untuk membuka ruang dialog. Tentang iman yang membumi, demokrasi yang manusiawi, dan kemakmuran yang tidak meninggalkan siapa pun.
Verified by MonsterInsights