Saat Agama di Panggung Publik Kehilangan Ruhnya

Saya sering berpikir, mungkin inilah zaman di mana agama di panggung publik lebih bersinar daripada agama di dalam hati. Kita hidup di masa ketika ustaz bisa trending, doa bisa viral, dan ayat bisa dipotong jadi konten motivasi tiga puluh detik. Semua terasa megah, tapi juga kosong.

Dulu, agama diajarkan dengan air mata dan keheningan. Sekarang, ia diajarkan dengan pencahayaan studio dan efek suara. Bahkan, seolah iman harus punya engagement rate tinggi untuk dianggap sah.

Kita memuja mereka yang pandai bicara, tapi lupa mendengar mereka yang hidupnya diam dan jujur. Kita sibuk mendebat hal remeh di ruang publik, tapi gagal menjawab penderitaan yang ada di sekitar kita. Agama kehilangan napasnya di tengah bising mikrofon dan kamera.

Agama di Panggung Publik

Kata kunci ini tidak sekadar frasa; ia adalah cermin. Agama di panggung publik kini sering tampil bukan untuk menghidupkan nurani, tapi memamerkan posisi. Orang berlomba menunjukkan siapa yang paling suci, paling lurus, paling pantas bicara atas nama Tuhan.

Kita menyaksikan tafsir direbut oleh algoritma, dan fatwa bersaing dengan trending topic. Mereka yang punya jutaan pengikut seolah otomatis punya otoritas. Padahal, dulu para ulama menghabiskan separuh hidupnya untuk menundukkan ego sebelum berani berbicara satu kalimat tentang agama.

Sekarang, kecepatan bicara dianggap lebih penting daripada kedalaman makna. Padahal, diam juga bisa jadi bentuk ibadah — terutama ketika bicara hanya akan menambah kebingungan.

Dari Mimbar ke Kamera

Saya ingat betul, dulu khutbah Jumat adalah ruang renungan. Suara khatib tak perlu keras; cukup tenang, tapi mengena. Kini, sebagian khutbah terasa seperti pidato kampanye. Seruan moral berubah jadi slogan politik.

Di media sosial, lebih parah lagi. Ceramah dipotong, diedit, diberi musik dramatis. Komentar dibanjiri pertengkaran antara kubu ustaz A dan ustaz B. Seolah agama butuh manajer konten dan editor emosi.

Mungkin bukan karena agamanya yang salah, tapi karena kita sudah kehilangan rasa takut untuk memanipulasi yang sakral. Kita lupa bahwa agama bukan alat promosi. Ia adalah jalan sunyi menuju kedewasaan batin. Tapi siapa yang masih mau berjalan di jalan sunyi ketika panggung terang benderang menunggu?

Ketika Pujian Jadi Tuhan Baru

Saya sering terdiam membaca komentar di bawah video dakwah. Ribuan emoji, seruan “Masya Allah”, tapi sedikit sekali yang menuliskan refleksi atau perubahan diri. Kita menonton agama seperti menonton konser — kagum pada penyanyinya, lupa pada lagunya.

Dulu, ulama besar mengajar dalam majelis sederhana. Tidak ada panggung tinggi, tidak ada pengeras suara. Tapi dari sanalah lahir orang-orang yang berilmu dan beradab. Sekarang, kita punya ribuan panggung, tapi sedikit keheningan.

Mungkin inilah kutukan modernitas: agama harus tampil menarik agar dianggap relevan. Tapi daya tarik itu akhirnya menggantikan substansi. Ustaz jadi selebritas, jamaah jadi penggemar, dan kebenaran pun berubah jadi performa.

Kembali ke Cahaya yang Tenang

Agama seharusnya membebaskan kita dari keinginan untuk tampil. Karena begitu iman dipamerkan, ia berubah jadi topeng. Tuhan tidak butuh pengikut yang ramai di kolom komentar, tapi hati yang tenang di dalam sunyi.

Saya percaya, yang paling berbahaya bukanlah kehilangan iman, tapi kehilangan rasa malu pada Tuhan. Ketika semua hal suci diubah jadi konten, ketika doa jadi bahan dagang, dan ketika kesalehan diukur dari jumlah tayangan, mungkin sudah saatnya kita berhenti dan menarik napas.

Cobalah dengarkan kembali azan tanpa memfilternya. Cobalah berdoa tanpa menyiarkan. Rasakan kembali kehadiran agama di ruang yang tak membutuhkan validasi publik. Karena di sanalah Tuhan masih berbisik.

Kita tidak harus menolak panggung. Tapi kita perlu mengingat: panggung bukanlah mihrab. Mihrab adalah tempat manusia menunduk, bukan menatap kamera.

Agama tidak pernah butuh popularitas, yang ia butuhkan hanyalah kejujuran. Dan kejujuran tak bisa disunting.

Mungkin sudah waktunya kita belajar menunduk lagi — bukan di depan layar, tapi di depan hati. Karena di sanalah iman sejati bersembunyi.

author avatar
Rully Syumanda
Arsitek, Penggiat Lingkungan dan Ayah dari tiga orang putri. Tidak terlalu relijius namun selalu berusaha berbuat baik dan percaya bahwa gagasan besar sering lahir dari percakapan kecil. Melalui laman ini, saya ingin berbagi cara pandang — bukan untuk menggurui, tapi untuk membuka ruang dialog. Tentang iman yang membumi, demokrasi yang manusiawi, dan kemakmuran yang tidak meninggalkan siapa pun.
Verified by MonsterInsights