Ketika Fatwa MUI Tak Lagi Mencerminkan Akal Sehat

Fatwa MUI tentang larangan menggunakan atribut keagamaan non-Muslim kembali memancing perdebatan panjang. Bukan karena umat ingin menolak ajaran Islam, tapi karena fatwa itu terasa sempit, tergesa, dan ahistoris. Menurut MUI, atribut keagamaan berarti segala hal yang menjadi ciri khas atau tanda suatu agama, dari keyakinan, ritual, hingga tradisi. Dan menggunakan atribut agama lain—katanya—haram.

Masalahnya, definisi ini begitu luas hingga menghapus sejarah panjang saling meminjam dan saling belajar antaragama. Agama-agama besar, termasuk Islam, tumbuh bukan dalam ruang kosong, tapi di persimpangan budaya dan keyakinan. Fatwa MUI ini seolah melupakan kenyataan bahwa Islam justru menjadi besar karena kemampuan menyerap nilai, bukan menolak perbedaan.

Lihat saja tasbih yang digunakan dalam zikir umat Islam. Ia bukan produk eksklusif Islam, tapi warisan India kuno, kemudian diadopsi oleh Kristen dan akhirnya Islam. Begitu pula menara masjid, yang diambil dari arsitektur Babilonia dan gereja-gereja di Suriah, sebelum menjadi simbol Islam hingga kini. Bahkan hukum Islam klasik, dengan sumber seperti al-Kitab, Sunnah, Qiyas, dan Ijma’, adalah bentuk adaptasi dari sistem hukum Romawi milik Kaisar Justinian.

Islam tidak akan pernah sebesar sekarang jika menutup diri seperti isi fatwa MUI itu. Karena sejarahnya adalah sejarah keterbukaan. Nabi sendiri tidak datang untuk menghapus seluruh tradisi, tapi menyucikan maknanya. Haji, misalnya, diambil dari ritual pra-Islam, namun dimurnikan menjadi ibadah tauhid. Maka, apa gunanya menolak simbol yang tak lagi punya makna ritual, hanya karena takut tampak serupa dengan yang lain?

Islam dan Tradisi yang Saling Menyerap

Indonesia memberi pelajaran nyata. Di berbagai pelosok negeri, Islam berdampingan dengan agama lain tanpa rasa curiga. Di Nusa Tenggara Timur, umat Muslim dan Kristen saling membantu dalam pesta, duka, hingga biaya pendidikan.

Di Medan, masjid Gang Bengkok berdiri atas sumbangan saudagar Tionghoa bernama Tjong A Fie. Di Ambon dan Manado, warga Muslim ikut membangun gereja tetangga. Tidak ada istilah “kafir” di antara mereka. Yang tampak justru iman yang kuat dan percaya diri.

Apa yang MUI sebut “penodaan” justru adalah bentuk kematangan beragama. Ketika seseorang beriman dengan tenang, ia tak takut bergaul, tak takut tertular, tak takut kehilangan identitas. Karena iman sejati tidak ditentukan oleh warna baju, melainkan oleh keteguhan hati.

Atribut Tak Pernah Tetap

Kita sering lupa bahwa atribut agama berubah bersama waktu. Pernah ada masa ketika celana panjang dan jas dianggap haram, karena menyerupai pakaian orang Kristen Belanda. Kini, para pejabat dan ulama pun memakainya tanpa merasa kehilangan iman. Begitu pula jilbab dan blangkon, yang dulunya dianggap budaya, kini menjadi simbol religius. Artinya, atribut selalu cair — ia mengikuti zaman, bukan membekukannya.

Fatwa yang mengharamkan atribut keagamaan justru menegaskan ketakutan yang tak perlu. Islam tidak serapuh itu. Tidak ada Muslim yang tiba-tiba berpindah agama hanya karena mengenakan kombinasi warna merah-hijau di bulan Desember.

Humanisme Islam Indonesia

Kekuatan Islam di Indonesia terletak pada adab dan kemanusiaannya. Bukan pada larangan, tapi pada kelapangan. Dokumen Kalimah Sawa’ atau A Common Word yang ditandatangani para ulama dunia pada 2007 sudah menegaskan: umat Islam wajib mencintai tetangganya yang non-Muslim. Cinta itu bukan hanya empati, tapi juga kesediaan untuk berkorban dan berbagi ruang hidup.

Sayangnya, fatwa MUI ini justru mengerdilkan semangat itu. Ia menjauhkan umat dari cita-cita Islam rahmatan lil alamin — Islam yang hadir untuk membawa kasih, bukan sekat. Bukankah Nabi sendiri hidup di tengah masyarakat plural? Bukankah beliau berdialog dengan Yahudi, Nasrani, bahkan kaum penyembah berhala, tanpa rasa benci?

Menolak Fasisme Keagamaan

Kita hidup di masa di mana agama sering dijadikan alat politik. Permusuhan dijual dengan dalih akidah. Fatwa seperti ini, yang seolah melindungi kesucian, justru memberi ruang bagi kelompok intoleran untuk menekan yang berbeda. MUI seharusnya menjadi cahaya yang menuntun, bukan bara yang membakar.

Yang dibutuhkan umat Islam hari ini bukan fatwa tentang larangan memakai atribut, tapi panduan bagaimana tetap beriman di tengah dunia yang plural. Bagaimana mencintai tanpa kehilangan keyakinan. Bagaimana teguh tanpa menutup diri.

Iman yang besar tidak membangun tembok, tapi membuka pintu. Dan Indonesia telah memberi teladan itu berabad-abad lamanya.

author avatar
Rully Syumanda
Arsitek, Penggiat Lingkungan dan Ayah dari tiga orang putri. Tidak terlalu relijius namun selalu berusaha berbuat baik dan percaya bahwa gagasan besar sering lahir dari percakapan kecil. Melalui laman ini, saya ingin berbagi cara pandang — bukan untuk menggurui, tapi untuk membuka ruang dialog. Tentang iman yang membumi, demokrasi yang manusiawi, dan kemakmuran yang tidak meninggalkan siapa pun.
Verified by MonsterInsights